Keesokan harinya, orang tua Titan mendatangi sekolah untuk mengurus kasus yang menimpa Puput, sekolah memberikan izin untuk Puput tidak hadir ke sekolah hingga kasus dan kondisi mentalnya kembali. Sedangkan, Titan, sekolah memberikan izin beberapa hari untuk Titan tidak hadir ke sekolah karena mengingat Titan sudah seperti saudara kandung untuk Puput, tentu kondisi mental Titan juga terganggu.
Di rumah sakit, kunjungan Dokter yang berbeda-beda bergantian keluar masuk ruang rawat Puput. Ada psikolog yang mencoba untuk selalu menenangkan Puput, Dokter yang mengobati luka-luka Puput, bahkan pagi ini masih ada Polisi yang masuk ke dalam ruangan Puput.
“Ma?” panggil Puput saat ruangan telah sepi, hanya dia, Mama dan Titan yang juga duduk di atas kasur tempat Puput berbaring, “Ma! Puput nggak mau sekolah lagi.” Sambung Puput, terlihat air matanya menetes.
“Iya, Puput nggak perlu dateng ke sekolah kalo Puput nggak mau!” jawab Mama memegangi kedua tangan Puput, sedangkan Titan hanya diam membisu, dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak terjatuh.
“Puput nggak mau ketemu siapa-siapa lagi!” ucap Puput lagi, Mama hanya mengangguk. Puput mengarahkan pandangannya ke Titan, “Gue hancur, Tan!” ucap Puput menangis.
“Enggak!” Titan bersuara, menggelengkan kepalanya, “Lo baik-baik aja, mereka nggak berhasil, Put!” ucap Titan yang kini sudah meneteskan air matanya.
“Andi tarik baju gue!” Puput menangis kencang, membuat Mama dan Titan berusaha keras menenangkan, Puput. “Gue benci sama mereka, gue nggak suka mereka!” sambung Puput.
“Iya, gue juga benci mereka!” jawab Titan, “Lo nggak perlu takut! Lihat gue!” Titan memegang kepala Puput dan mengarahkannya ke wajahnya, “Gue bakalan bales apa yang dia lakuin ke lo!” sambung Titan.
“Janji?” ucap Puput, sedangkan Mama lagi-lagi hanya diam sambil menangis.
“Ya! Gue janji!”
“Andi nyeret gue, dia dorong gue, dia tampar gue, dia ...” Puput menghentikan kalimatnya karena suara sesegukan yang tidak bisa dia kendalikan.
“Ya, gue akan bales semuanya!” Titan langsung menyambung kalimat Puput lalu memeluknya. Suasana terlihat sangat haru, Mama membelai kepala kedua puteri yang dia sayangi itu, hatinya hancur, ingin rasanya Mama mendatangi Andi dan keluarganya, namun kondisi kesehatan Puput membuat Mama harus berdiam di rumah sakit.
-||-
Di sekolah, Galin dan Adit baru saja keluar dari kelas dan meminta izin ke guru piket untuk pergi ke rumah sakit. Setelah mendapat izin kedua remaja laki-laki itu melajukan motor mereka ke rumah sakit Pelita.
Setibanya di tempat perkir, Galin berlari sekencang-kencangnya, disusul Adit yang mau tidak mau juga harus ikut berlarian. Mereka berhenti di depan ruangan Puput.
‘Tok tok tok’
Galin mengetok pintu ruangan Puput, berharap ada yang membukanya atau hanya sekedar berteriak dari dalam untuk memberikannya izin masuk.
“Masuk!” suara dari dalam, telinga Galin dan Adit hafal betul bahwa ini adalah suara, Titan. Galin dan Adit masuk ke dalam ruangan Puput, terlihat Titan sedang menyuapkan makanan ke Puput.
Mereka ber-empat saling melihat, sampai akhirnya Puput tiba-tiba menangis.
“Lo ngapain?” tanya Titan berdiri dari kasur, berniat ingin mengusir Galin dan Adit. Sayangnya, langkah kaki Galin lebih cepat, Galin mendekati Puput, “Put!” Galin memegang kepala Puput dan berusaha memeluknya, seketika Puput langsung berteriak dan memberontak.
“PERGI!!” teriak Puput sekuat tenaga, Titan dan Adit mencoba menenangkan Puput dan meminta agar Galin keluar dari ruangan itu, namun Galin tetap bersih keras, tangannya tidak ingin melepaskan Puput.
“Put, ini aku sayang! Ini aku!” Galin mengucapkan kata itu berulang kali, sampai Mama kembali ke dalam ruangan Puput.
“Stop!” teriak Mama meletakkan termos air panas yang dia bawa, Mama melihati Galin dengan tajam, Puput kini meringkuk dalam pelukan Titan.
“Pergi, Gal!” usir Titan dengan penuh penekanan.
“Gal, ayo!” Adit mencoba menarik tangan Galin agar segera keluar dari ruangan itu.
“Enggak!” Galin menepis tangan Adit, matanya membalas tatapan, Mama, “Tante, saya mau di sini!” ucap Galin ke Mama. Tanpa basa-basi Mama langsung menarik tangan Galin dan menyertnya keluar dari ruangan itu, disusul oleh Adit.
Mereka berdiri di depan pintu ruangan, Mama melepaskan tangan Galin dan mulai bicara, “Puput nggak mau ketemu kamu lagi, jadi jangan pernah kesini!” ucap Mama yang masih mengendalikan rasa amarahnya.
“Tante saya mau di sini! Saya mau jaga, Puput!” jawab Galin memohon.
“Telat! Kamu telat, Galin. Kalo kamu mau jaga, Puput, harusnya sebelum semuanya kejadian, sekarang kamu pergi, cari anak gadis lain yang lebih butuh perlindungan kamu! Puput nggak butuh, kamu!” Mama menunjuk wajah Galin, membuat Galin hanya menggeleng karena tidak ingin pergi dari sana.
”Tante, saya mohon! Saya mohon!” Galin memegang tangan Mama seraya memohon. Dengan kuat Mama menepis tangan Galin, kini kesabaran Mama telah habis.
“Kamu denger ya! Hampir tujuhbelas tahun, tujuhbelas tahun saya sendirian, saya rawat Puput dengan kasih sayang, saya ajari dia gimana caranya tertawa sampai dia nggak pernah tau gimana caranya menangis. Saya bentuk dia jadi gadis manis yang ceria!” Mama menekankan suaranya, air matanya menetes, sesekali tangan kanannya mencoba untuk menyeka air matanya yang terus jatuh itu.