Di sebuah taman yang tandus, berlokasi dekat rumahnya, terdapat seorang pemuda bernama Petrus. Ia duduk dengan lesu, hatinya terasa terhimpit oleh realita beberapa malam lalu. Tibalah sebuah visual berputar dalam kepalanya.
Sepotong peristiwa kemarin malam, ketika Petrus bertemu pemimpin kelompok bawah tanah, yaitu Soe. Mereka sempat bertukar informasi di perjalanan pulang menggunakan kereta. Penumpang nampak sibuk masing-masing. Ada yang tidur di bawah lantai. Ada pedagang yang berjalan mondar-mandir, sambil menjajakan barang dagangannya. Petrus lalu melirik ke belakang sekali lagi. Tidak ada orang mencurigakan terlihat. Namun, bagaimana ia bisa menebak ada orang mencurigakan, karena ia memang tidak kenal satu orang pun. Jadi, timbul kesan aneh saat ia berlaku sok waspada begitu.
"Jadi, kenapa kita mesti ke sini?" tanya Petrus membuka topik pembicaraan.
Soe merangkul tubuh sahabatnya itu. "Kita harus melawan rezim hari ini. Tapi dengan cara damai, persis seperti falsafah yang kita anut. Lawan dengan ide, bukan dengan otot. Ingat kan!"
Petrus membalas merangkul bahu sahabatnya. "Gua bisa jamin soal itu. Makanya besok, pas anak-anak ngajak gua rapat, gua akan usulkan falsafah kita itu."
"Gua bakal kebayang sih, pasti mereka gak setuju sama usulan lo. Tapi tidak ada salahnya dicoba, bukan?" jelas Soe sekali lagi.
Kereta tiba-tiba berhenti. Orang-orang berbondong-bondong berjalan keluar gerbong. Saat yang sama, ternyata Soe juga ikut turut keluar. Mereka berpisah kembali, entah untuk berapa hari.
***
Seorang wanita berwajah tionghoa terduduk tenang di dalam ruang kerja seorang pengusaha mewah. "Jadi, aku harus melakukan apa, yah?" gumamnya.
Seorang pria dewasa berwajah tegas, bertubuh kekar, dan berambut cepak, berjalan santai mendekatinya. Ia kemudian menyerahkan sebuah foto seorang anak laki-laki.
"Kamu harus mengikuti anak ini," perintah pria dewasa itu.
Wanita itu mengambil foto tersebut. Ia menatap jelas wajah anak itu. Sepertinya ia mengenali orang tersebut. Kalau tidak salah, anak itu seangkatan dengannya.
"Baiklah, aku akan melakukan untuk ayah!"
Setelah itu, wanita itu mengambil foto tersebut, pamit pergi, lalu menutup pintu ruang kerja itu dengan hormat.
***
Tiba-tiba telepon genggam Petrus berdering dengan nama "Ayah" yang terpampang di layar. Raut wajah Petrus tidak menunjukkan ekspresi apapun saat ia mematikan panggilan tersebut tanpa berkata sepatah kata pun.
Pada saat itu, Petrus merasa tidak bisa lagi menahan keengganannya. Dalam keputusasaan, ia bangkit berdiri dan meninggalkan taman yang suram tersebut. Dengan langkah lemas, Petrus melangkah menuju motornya yang setia menunggu di tepi jalan. Tujuan perjalanannya tak lain adalah kampus Universitas Indonesia.
Meskipun Petrus adalah seorang mahasiswa di jurusan ekonomi, ia merasakan ketidakcocokan dengan bidang tersebut. Pilihan jurusan itu sebenarnya bukanlah keputusannya sendiri, melainkan keinginan kedua orangtuanya yang merupakan birokrat pemerintahan. Hati Petrus terbebani oleh tekanan untuk mengikuti jalur yang telah mereka pilihkan.