Petrus dan teman-temannya dari Universitas Indonesia turun ke jalan. Mereka membawa spanduk yang bertuliskan pemikiran kritis mereka. Sebagian dari mereka berorasi untuk membakar semangat, sementara yang lain berjalan mengikuti rombongan menuju gedung DPR. Di barisan depan, Petrus terlihat berkoordinasi dengan beberapa pemimpin dari mahasiswa lain. Mereka sepakat untuk tidak menciptakan kerusuhan dan hanya ingin menyampaikan protes kepada anggota parlemen. Setelah itu, mereka akan membubarkan diri.
Di tengah-tengah orasi para pemimpin mahasiswa, tiba-tiba Petrus melihat seorang gadis yang wajahnya amat familiar. Ia tergugah untuk mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Tentu saja, gadis itu menoleh dan memperlihatkan ekspresi kurang nyaman.
Petrus berdiri kikuk dan bingung harus berlaku apa. Dalam hatinya ia ingin mengajak bicara, tetapi realitas berkata lain. Gadis itu berdiri tegap bagai mercusuar di tengah badai, tidak tergoyahkan.
Pada akhirnya, Petrus hanya punya satu pilihan yang pasti.
"Gua minta maaf soal kemarin ya."
Lalu gadis itu mengendurkan bahunya dan otomatis pandangan matanya berpindah fokus ke Petrus.
"Sorry... barusan lo ngomong apa ya? Kok gua kurang denger nih," imbuhnya sambil mendekatkan kupingnya ke arah wajah Petrus.
Petrus tersenyum kecil. Ia merasa dikerjai, namun timbul rasa sukacita. Setidaknya badai di mercusuar itu telah mereda. Tugasnya saat ini tinggal menyapu badai tersebut agar berganti dengan pelangi.
"Gua minta maaf karena udah nyanyi keras-keras. Sorry... kalo itu jadi ganggu lo."
Pelan tapi pasti, gerak tubuh gadis itu mulai kalem. Ia sempat melirik sebentar ke arah Petrus, seolah mencoba memastikan satu atau dua hal. Apa benar orang ini memaafkannya dengan tulus?
"Jawab dong... gua dimaafin gak, nih?" ucap Petrus, dengan nada butuh kepastian.
Gadis itu mengangguk. Ia sudah menerima permintaan maaf tersebut, namun masih enggan untuk bertutur lebih jauh.
"Makasih ya kalau begitu. Semoga kalau kita ketemu lagi, gua sama lo bisa berada dalam mood yang asyik dan di tempat yang lebih memadai. Minimal di tempat makan yang layak. Bukan di tengah unjuk rasa kayak gini," goda Petrus dengan lembut sekali.
Kendati masih membisu, terlihat dari ujung mata gadis itu bahwa ia melirik Petrus. Merasakan ada perubahan sikap dari gadis itu, Petrus memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengulurkan tangan dan mengajaknya berkenalan.
Gadis itu menjabat tangan Petrus. Wajahnya mulai terlihat ramah. Ia sudah tidak memperlihatkan kuda-kuda yang seolah-olah mau menerkam Petrus.