Dalam suasana yang penuh tekanan, Fenny meminta Petrus untuk berjalan lebih dulu. Petrus merasa kebingungan atas permintaan itu, dan dengan rasa ingin tahu, ia bertanya, "Ada apa sebenarnya?"
Fenny justru tersenyum lembut, menggambarkan perasaan campur aduk yang dia rasakan. "Hehehe... aku hanya ingin pamit kepada ayah terlebih dahulu. Boleh kan?"
Petrus mengangguk paham, meskipun sedikit bingung dengan alasan Fenny. Ia lalu berjalan agak menjauh untuk memberi Fenny waktu untuk berpamitan. Di sana, ia memutuskan untuk melirik Fenny yang berdiri di seberang sana, di tempat yang membuatnya tidak bisa melihat wajah rupawan wanita itu.
Sementara itu, di saat yang bersamaan, Fenny sibuk mengetik sebuah pesan singkat. Isinya kurang lebih seperti ini: "Target akan datang ke sini. Coba ambil fotonya. Siapa tahu berguna untuk menciptakan suasana ricuh di kemudian hari."
Setelah pesan terkirim, Fenny merapikan ekspresinya terlebih dahulu. Ia bahkan mencoba meredakan ketegangan dengan mengatur nafasnya, mencoba menenangkan diri. Barulah setelah itu, ia berani menepuk lembut pundak Petrus.
"Sudah selesai," tanya Petrus, penuh perhatian.
Fenny, entah mengapa, bertindak di luar akal sehat. Ia memegang tangan kanan Petrus dan berjalan bersamanya ke daerah tempat gulai tikung berada.
***
Petrus dan Fenny berdiri di depan warung apresiasi di Blok M. Fenny memandang sekeliling, terkejut melihat keberadaan kalangan manusia yang cukup berbeda dari dirinya. Pria bertato, bertubuh kurus kering, rambut gondrong, dan bau apek. Petrus membiarkan Fenny mengalami pengalaman baru ini, sembari berharap bahwa dia bisa melihat sisi lain kehidupan yang belum pernah ia alami.
Fenny mencoba untuk menghindari pandangan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan yang menjijikkan. Meski merasa agak risih, Fenny menyadari bahwa Petrus tidak terlalu memperdulikan hal ini. Ia hanya diam, berusaha untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk mengajak Petrus pergi dari sana.
Namun tiba-tiba, Petrus berlari ke panggung kecil yang terletak di pojokan dekat sorot lampu agak temaram.
"Petrus... lo mau ngapain sih? Pliss... jangan bikin gua tambah kikuk ahhhh!" protes Fenny dengan nada cemas.
Petrus dengan semangat mengabaikan kekhawatiran Fenny dan berteriak, "Maafin gua ya, teman-teman. Boleh gua ganggu bentar ya? Gua pingin nyanyi sebuah lagu untuk kalian yang merasa termajinalkan oleh rezim hari ini!"
Fenny terkejut. Ia merasa ada yang istimewa dalam momen ini, seperti nuansa gelora pemberontakan di tahun-tahun sebelumnya. Semua orang berteriak dan mengangkat tangan ke udara. Petrus menyanyikan lagu "Oemar Bakrie" milik Iwan Fals. Semua orang bergabung dan menyanyikan lirik demi lirik. Tanpa sadar, mereka merangkul bahu satu sama lain, bergerak seirama nada, dan terhanyut dalam suasana syahdu yang penuh dengan gelora perlawanan.
Pelan tapi pasti, Fenny mulai bergeser ke sudut kiri kafe. Tak terbayang bahwa melalui lagu dan nada yang pas, Petrus bisa membakar ribuan orang untuk turun ke jalan. Energi ini sangat luar biasa! Dia bahkan belum pernah merasakan energi ini di pertemuan bawah tanah mana pun. Petrus memang luar biasa!