Dunia sudah tenggelam dalam kehancuran. Cahaya yang dahulu bersinar terang, kini telah suram oleh keraguan dan kebingungan. Fenny merasa bahwa semua harapan telah hilang dari dunia ini, dan ia melihatnya dengan pandangan yang penuh duka. Meskipun ada orang-orang yang berjuang untuk kebenaran, namun upaya mereka selalu dihalangi oleh mata-mata yang tak terlihat. Seperti dunia ini hidup dan memiliki kekuatan untuk merancang bencana, bahkan kesalahan kecil pun dapat berakibat fatal.
Keadaan yang menyedihkan ini juga mencerminkan nasib seorang anak muda yang penuh idealisme. Di dalam hatinya hanya ada satu keinginan, yaitu menjadi seorang musisi yang mampu menyuarakan kegelisahan melalui lagu-lagu ciptaannya. Namun, segala impian dan harapan Petrus hancur berantakan saat dirinya dan trio belel ditangkap secara paksa oleh pihak polisi. Fenny, dalam keadaan yang tidak berdaya, hanya bisa melihat situasi Petrus dari kejauhan. Akhirnya, Fenny memutuskan untuk menghubungi teman-temannya dan mencoba mencari nomor telepon orang tua Petrus agar dapat memberikan kabar tentang kejadian tersebut.
Setelah melakukan pencarian dengan penuh tekad, akhirnya Fenny berhasil menemukan nomor yang dianggapnya memiliki arti penting. Dengan hati yang berdegup kencang, dia mengambil napas dalam-dalam.
Dalam situasi yang hening tersebut, Fenny merasa seperti terseret oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ia seolah-olah dihimpit oleh sang algojo yang kejam dan tidak berbelas kasihan. Rasa ketakutan yang melanda begitu kuat, sehingga ia rela mengorbankan nyawanya sendiri, seakan-akan mati adalah pilihan yang lebih baik daripada mengungkapkan kebenaran mengenai nasib malang yang menimpa Petrus.
Lalu sang algojo, dengan menutup mata, mengayunkan kampak ke atas kepala Fenny. Sontak, Fenny melantunkan doa kepada Tuhan, memohon agar nyawanya jangan dicabut. Ia memilih untuk terbawa ke atas bukit. Ternyata permohonannya dikabulkan. Ia mulai berlulut dan merenungkan nasib hidup Petrus layaknya seorang wanita suci.
Saat Fenny merenung, tiba-tiba saja keberanian itu menyinari kegelapan Fenny seperti cahaya terang. Ia melangkah maju menuju pusat badai, di mana tersimpan kebenaran yang dahsyat. Dengan rasa takut yang melampaui batas, seolah-olah memasuki medan tempur yang dipenuhi rintangan dan bahaya, Fenny tidak mundur, melainkan memilih terus maju, menghadapi kegelapan dengan keberanian yang mengesankan.
Tanpa menunggu lama, Fenny segera menghubungi orang tua Petrus. Waktu seolah-olah berjalan dengan sangat lambat, dan dering telepon terdengar seperti suara belati yang siap menghancurkan keputusasaan Fenny. Ia merasa begitu lemah, sehingga bahkan jika dia dihadapkan pada pertanyaan yang ekstrem, ia hanya bisa menjawab dengan apa adanya. Fenny tidak ingin menciptakan cerita bergenre drama ala sinetron hanya karena takut disalahkan. Baginya, kejadian ini tak pernah terduga, baik baginya maupun bagi Petrus sendiri. Panggilan akhirnya terhubung, dan seseorang di ujung telepon itu mengangkatnya serta menanyakan identitas Fenny.