Situasi hening terjadi ketika Petrus melangkah masuk ke dalam ruang interogasi. Ibu segera berdiri, memeluk anaknya, dan mengelus kepalanya berkali-kali. Lalu, suara isak tangis pecah begitu saja. Petrus pun membalas pelukan ibunya. Ia berulang kali mengungkapkan rasa sesal yang berasarang dalam hatinya.
Di sisi lain, Ayah justru mengambil ponsel dan mencoba menghubungi seseorang. Nada dering berlangsung agak lama, sampai akhirnya panggilan itu dijawab oleh orang yang dituju.
"Tolong pastikan tidak ada satu pun wartawan yang melihat kejadian malam ini, ya?" tegas Ayah kepada orang tersebut.
Panggilan itu kemudian diakhiri olehnya. Ia lantas meminta Ibu dan Petrus untuk segera pulang.
"Petrus, kita pulang ke rumah dulu ya. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," jelas ibunya.
Petrus mengangguk paham. Namun, ia meminta Ayah dan Ibu untuk pergi lebih dulu. Ia ingin berbicara dengan Fenny terlebih dahulu. Ibu melirik Fenny dengan tatapan penuh pengertian. Ia merasa bahwa gadis itu bukan masalah besar. Oleh karena itu, ia mengizinkan permintaan anaknya. Setelah itu, ia menarik tangan suaminya agar pergi dari ruang interogasi.
"Kamu memang jagoan, ya. Sudah membuat masalah, masih berani memerintah orang tua lagi," jelas ayahnya sambil meninggalkan mereka.
Namun sebelum meninggalkan ruang interogasi, Ayah sekali lagi memperhatikan gerak-gerik Fenny yang hanya terdiam membeku di ruangan tersebut. Fenny sama sekali tidak berbicara atau melakukan hal lain. Ia seakan-akan telah berubah menjadi orang lain sejak petugas senior mengungkapkan sebuah fakta, bahwa orang tua Fenny pasti mengenal orang tua Petrus.
Fenny dengan cepat mencari cara untuk menghindari tatapan penyelidikan Ayah Petrus. Ia pura-pura melihat sosok Petrus yang mendekatinya, seolah-olah tidak memperdulikan tindakan Ayah Petrus.
Tak lama kemudian, sosok orang tua Petrus lenyap dari ruang interogasi. Kini, hanya Petrus dan Fenny yang berdiri, saling bertatapan dalam suasana yang amat melankolis.
***
Jarum jam bergerak begitu lambat, sementara mereka masih belum mengungkapkan perasaan dari dalam hati masing-masing. Mereka lebih memilih untuk membisu, tetapi tetap saling mengirimkan isyarat melalui tatapan mata mereka. Namun, tiba-tiba seorang petugas mengetuk pintu ruang interogasi, meminta mereka keluar dari ruangan tersebut. Meskipun enggan, mereka bergerak ke luar, namun tanpa tergesa-gesa meninggalkan kantor polisi.
"Fen... gua nggak tahu harus mengatakan bilang apa sama lo," ucap Petrus dengan suara yang lelah.
Fenny menggenggam erat kedua tangan Petrus. "Lo nggak perlu mengatakan apapun. Bagi gua, yang terpenting adalah lo selamat dan bisa keluar dari tahanan. Tapi lo perlu paham satu hal. Lo pasti akan menghadapi masalah ketika tiba di rumah," ujar Fenny dengan penuh perhatian.
"Itu sudah pasti. Ayah tidak ingin melihat anaknya bebas. Dia ingin gua untuk mengikuti rencananya, menjadi pegawai BUMN. Padahal, gua sangat nggak suka gelar tersebut."
Fenny dengan lembut menyentuh pundaknya. "Gua harap lo nggak melawan secara frontal. Sebaiknya, dengarkan dulu apa yang mereka katakan. Atau pura-pura ikuti keinginan mereka saja. Setelah lulus, lo baru bisa menjadi apapun yang lo inginkan. Menurut gua, cara itu lebih baik dan bijak. Inget ya omongan gua ini, soalnya lo harus paham dengan situasi lo sekarang. Lo baru aja masuk bui, jadi nggak boleh banyak tingkah dulu. Setidaknya untuk saat ini," jelas Fenny panjang lebar.
Tiba-tiba, Petrus memukul tembok dengan kekesalan. Ia menahan air matanya yang ingin jatuh. Ia benar-benar frustrasi setelah peristiwa hari ini. Dia mengerti betul sifat asli ayahnya. Setelah kejadian ini, hidupnya akan terikat seperti di penjara. Ia akan diantar saat pergi ke kampus, dan saat pulang dari kampus, ia akan diwajibkan langsung pulang ke rumah. Hidupnya akan terasa seperti sapi perah. Menyebalkan.
"Sudahlah... lo nggak perlu terlalu banyak memikirkan ini. Kadang-kadang kita harus mengalah sejenak demi memenangkan pertarungan. Yuk, kita keluar saja, karena ayah dan ibu lo udah menunggu di luar."
Fenny merangkul bahunya, dan kemudian mereka bergerak keluar dari kantor polisi. Namun, tiba-tiba langkah Fenny terhenti, tak disangka orang tua Fenny sudah berada di sana bersama dengan seorang ajudan yang berbadan kekar, botak, dan terlihat berbahaya.