Mobil keluarga Petrus telah tiba di rumah mereka dengan gemuruh mesin yang memecah keheningan malam. Ayah dan Ibu terburu-buru masuk ke dalam, penuh dengan kegelisahan. Sementara itu, Petrus terdiam dalam mobil, tak berdaya dan linglung. Ia merasa terjebak dalam kebimbangan yang melilit hatinya. Tidak ada kata pembelaan yang terucap dari bibirnya, juga tidak ada solusi yang mampu ia ciptakan untuk masa depannya yang suram. Yang mampu ia ingat hanya satu kata yang terlontar dari mulut Fenny beberapa saat yang lalu. Kini, ia sadar bahwa satu-satunya jalan yang harus ia tempuh adalah dengan tunduk patuh kepada setiap perintah yang datang dari orang tuanya. Ia menyadari bahwa itulah satu-satunya cara agar rencana kelam yang sebenarnya bisa terlaksana.
Seorang petugas keamanan rumah mengetuk pintu mobil dengan tegas. Permintaannya tak terelakkan: Petrus harus segera keluar dari kendaraan. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu bahwa kedua orang tuanya telah menantinya. Pertemuan ini akan menyingkapkan penjelasan yang mereka butuhkan atau bahkan mengungkap hal-hal tersembunyi dari peristiwa misterius semalam. Pikiran-pikiran gelap merayap di benak Petrus, mengusik ketenangannya. Tanpa ragu, ia mengambil napas dalam-dalam, menyelipkan kerah bajunya yang kusut, lalu perlahan membuka pintu mobil di sebelah kirinya. Dengan langkah mantap, Petrus berjalan memasuki ruang tengah rumah.
Ayah dan Ibu sudah menantinya dengan pandangan mencurigai yang tak tersembunyi, seakan melihat anak mereka sebagai sosok yang tak berdaya dan bodoh. Dalam benak Ayah, ia merasa kecewa dengan kecerdasan Petrus yang tak kunjung berkembang. Dalam benak Ibu, terbersit pikiran tentang ancaman yang mengintai di balik sosok anak mereka, sebagai musuh bebuyutan yang tersembunyi, siap melancarkan serangannya dengan kekejaman yang mengerikan, menggeliat dalam ketakutan yang melumpuhkan.
"Ayah, Ibu, tolong maafkan saya atas kejadian malam ini," ujar Petrus dengan suara rendah. Ia berusaha menyesali tindakannya dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut.
"Kamu benar-benar tidak menghargai berkat yang kamu miliki sebagai anak. Sebaliknya, kamu justru menghina kami dengan cara yang tidak pantas," seru ayah sambil melempar vas ke arah Petrus.
Petrus berhasil mengelak. Ia malah melangkah mundur untuk menghindari menjadi sasaran empuk bagi serangan berikutnya.
Ibu tidak merespons. Ia menyadari bahwa ia tidak boleh bertindak terburu-buru, karena satu kesalahan bisa berujung pada hal-hal yang lebih buruk.
Situasi semakin menegangkan ketika tiba-tiba ayah mendekati anaknya. Di sisi lain, Petrus berhasil menebak langkah ayahnya dengan seksama. Ia langsung melontarkan dirinya ke arah ayahnya dengan hasrat membara dan segala kekuatannya, berharap dapat menghentikan rentetan kekerasan yang terus berlanjut.
Pandangan penuh kekesalan memancar saat Ayah Petrus merespons dengan mengayunkan asbaknya penuh dengan kebencian yang terpendam. Asbak tersebut dengan ganasnya menghantam kepala Petrus, memaksa dirinya terhuyung mundur dan jatuh tak berdaya ke tanah. Petrus kehilangan kesadaran dalam sekejap, sedangkan ayahnya berdiri di atasnya, melihat hasil kekejaman yang ia lakukan.
Ibu yang menyaksikan adegan mengerikan itu terkejut dan panik. Dalam kebingungannya, ia berteriak memohon bantuan dari penjaga rumah yang berada di sekitar, mencoba mencari pertolongan dalam situasi yang semakin mencekam dan berbahaya.
"Dasar anak tolol! Mampuslah kau bersama mimpi-mimpimu!" seru ayah dengan penuh kebencian, sambil melangkah meninggalkan Petrus dan naik ke tangga. Ia kemudian mengunci pintu sambil menghubungi seseorang yang dianggapnya bisa membalaskan dendam pribadinya kepada Ajung Pribadi.
***