Fenny mendorong pintu kamar Petrus dengan nafas berdebar. Setengah pintu terbuka perlahan, mengungkapkan ruangan yang gelap gulita, hanya sesekali terhempas sinar bulan melalui jendela yang terbuka lebar. Tak ada suara, kecuali suara nafas teratur yang memenuhi ruangan itu. Petrus terlelap begitu tenangnya, seolah-olah sedang terhanyut dalam mimpi indah.
Fenny merogoh keberanian dalam-dalam, akhirnya melangkah masuk ke dalam sana. Setiap langkahnya penuh dengan keragu-raguan, namun tekadnya tidak pernah goyah. Sepanjang dia berjalan menuju tempat tidur Petrus, pandangan matanya terpaku pada tubuh lelaki itu. Tubuh yang tak bergerak, tak bergetar, dan sepenuhnya tak merespon dunia di sekitarnya. Hati Fenny hampir copot melihat keadaan Petrus yang begini.
Tubuh Fenny gemetar ketika akhirnya dia duduk di atas tempat tidur Petrus. Dia meraih tangan Petrus yang terbujur kaku, sambil tangannya mengelus lembut kepala lelaki itu. Di pelipisnya, terlihat jahitan yang masih segar dan belum mengering, mengingatkan Fenny pada apa yang baru saja terjadi.
"Petrus, kamu bangun dong!" bisik Fenny dengan nada lembut, namun penuh keputusasaan. "Aku mau cerita banyak hal menarik sama kamu. Masa iya, kamu tidur melulu, udah hampir seminggu loh. Bangun ya!"
Namun, tak ada reaksi dari Petrus. Dia tetap terlelap, tak bergeming sedikit pun.
Rasa khawatir dan kecemasan merajai hati Fenny.
***
Setelah keluar dari kamar Petrus, Fenny awalnya berniat untuk masuk ke dalam kamarnya. Namun sebelum ia mencapai anak tangga, Ajung Pribadi, ayahnya, memintanya untuk duduk di bangku utama yang menghadap sebuah lukisan agung, entah milik seniman siapa. Mereka duduk berdampingan, dan tiba-tiba Ajung merangkul bahu Fenny dengan penuh kehangatan.
"Kamu, jangan terlalu sedih begitu," ucap Ajung lembut. "Ayah sudah punya rencana untuk memperbaiki kondisi Petrus. Kita harus mengejar dua aspek yang berbeda. Pertama, kondisi fisiknya harus pulih sepenuhnya. Kedua, kondisi mentalnya harus diperkuat dengan cara yang berbeda. Tidak boleh mengandalkan pendekatan klinis saja, tapi kita harus menemukan sesuatu yang mampu membangkitkan semangatnya untuk menyembuhkan dirinya sendiri."
Sontak wajah Fenny berubah cerah. Ia bahkan langsung memeluk tubuh ayahnya dengan erat. Mendadak, sepotong air mata menetes cepat di atas pipinya. "Makasih yah!" ucapnya dengan suara serak.
"Sama-sama," jawab Ajung lembut. Ia lalu memandang matanya yang masih basah. Setelah itu, tangannya lembut menyeka air mata itu. "Namun, kamu harus siap-siap. Besok, kita akan merancang rencana besar kita."
Fenny menegakkan tubuhnya sambil memasang pose hormat ala prajurit, menunjukkan tekadnya yang bulat. Matanya bersinar penuh semangat.
Ajung Pribadi otomatis melakukan hal yang sama, menunjukkan dukungannya pada Fenny. "Oke, kalau begitu. Kita akan menghadapinya bersama-sama," ucapnya dengan penuh keyakinan.
***
Suasana pagi terasa segar dan damai. Burung-burung beterbangan dengan leluasa di antara pepohonan yang rindang. Di tempat lain, para lansia dengan langkah pelan berjalan pagi, saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup dan akhir perjalanan mereka.
Namun, di tengah situasi yang tenang itu, ada Fenny yang berlari dengan penuh semangat mengitari taman kompleks yang masih sepi. Ia semakin meningkatkan kecepatan larinya, tapi pikirannya berlari lebih cepat lagi dari kakinya, melompat dari satu plot cerita ke plot lainnya. Akhirnya, ia tiba-tiba berhenti, menundukkan tubuhnya setengah jongkok, dan nafasnya terengah-engah.
"Dalam rencana ini, sudah kulihat polanya. Tapi kuncinya tetap ada pada Petrus dan kelompok bawah tanahnya," gumam Fenny dengan fokus penuh.