Salah Duga

Jhon Merari Hutapea
Chapter #16

Bawah Tanah

Dunia bergulir dengan perubahan total yang mencengangkan. Di tengah lautan manusia yang bergegas di ibu kota yang ramai, seorang sosok terlihat bingung berdiri. Matanya melirik dengan cemas, mencari titik ketenangan yang mungkin dapat menghiburnya. Namun, harapannya pupus saat ia gagal menemukan apa yang dicari. Dalam kebingungannya, ia memilih untuk menjauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Langkahnya membawanya menuju tempat yang teduh, di bawah rindangnya pepohonan yang memberikan kelegaan.

Saat mencoba menenangkan diri, telepon di saku celananya tiba-tiba berdering. Ia segera mengeluarkannya dan menjawab panggilan tersebut. Suara Fenny, dengan intonasi yang penuh perhatian, bertanya, "Bagaimana keadaanmu?"

Petrus mengangkat kepalanya, matanya terarah ke langit yang terbentang di atasnya. "Semua tidak berjalan seperti yang direncanakan. Rencana itu hanyalah sekadar rencana belaka. Ketika kenyataan menggunting tangan dan kaki kita satu per satu..."

"Apa yang kamu maksud? Aku sama sekali tidak mengerti," tanya Fenny dengan keprihatinan.

Dengan sedikit tersendat, Petrus menjawab, "Aku dan teman-teman sedang diawasi. Tanpa kita sadari, beberapa teman lain sudah ditangkap tanpa alasan yang kami ketahui."

Fenny terdiam, membiarkan suasana terbawa oleh keheningan. Ia merenungkan sepotong asumsi yang terlintas dalam benaknya, tetapi belum bersedia mengungkapkannya. Sebaliknya, ia mengajukan pertanyaan yang terkesan sepele, "Namun, kamu baik-baik saja, kan?"

"Aku tidak apa-apa. Namun, rencana kami untuk mengadakan aksi damai menjadi semakin sulit untuk direalisasikan. Semua anggota diskusi memaksa kami untuk turun ke jalan segera. Aku benar-benar bingung," ujar Petrus dengan suara yang terdengar penuh kepayahan.

Fenny membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka, sambil mencoba merangkai kata-kata berikutnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyarankan, "Baiklah... Aku pikir kamu perlu istirahat sejenak. Atau mungkin kamu ingin berbagi rencana berikutnya?"

***

Petrus melangkah hati-hati di jalan sempit yang gelap gulita. Lampu sorot berwarna kuning terlihat samar, memberikan petunjuk seperti penari misterius dalam malam. Udara yang busuk dan apek merayap melalui lubang hidungnya, menguasai segala isyarat di sekitarnya. Namun, dengan cepat, Petrus menutup hidungnya dengan tangan kanannya. Rasanya hampir mual ketika aroma itu menyerbu ke dalamnya, bahkan sampai membuatnya terhenti sejenak. Kendati begitu ia masih melempar pandangan cemas ke belakang, memastikan tak ada seorang pun yang mengikutinya.

Setelah merasa aman, langkah Petrus kembali menapaki jalan sempit di gang terpencil di pinggiran kota Jakarta. Di ujung jalan, terdapat dua cabang sempit yang membentang ke arah kanan dan kiri. Petrus begitu jelas kebingungan, terperangkap dalam kebuntuan arah. Ia terpaksa menghampiri kedua cabang jalan tersebut, sambil berusaha mencari petunjuk yang ditinggalkan oleh rekannya. Beruntung, ia menemukan selembar kertas cokelat yang tergeletak. Dengan cepat, ia membuka lipatan kertas itu dan menemukan sepenggal kalimat yang tertulis, "Berjalan ke kanan lebih demokratis." Senyum tak terbendung merekah di wajah Petrus saat ia selesai membaca kalimat itu. Ia tak bisa menahan pikiran bahwa rekannya terlalu kaku dalam berfikir. Sebenarnya, tak peduli ke arah kanan atau kiri yang dipilih, pada akhirnya rakyat hanya membutuhkan pemimpin yang jujur, yang tidak terlibat dalam jaringan korupsi di dalam sistem pemerintahan.

Tanpa ragu, Petrus menyimpan kertas cokelat itu dalam saku celananya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju arah kanan. Namun, semakin ia memasuki jalan itu, semakin kelam pemandangan di sekelilingnya. Lorong yang sepi tak berpenghuni terasa seperti jalan menuju kegelapan tak berujung. Tidak ada orang yang melintas, apalagi kendaraan yang melaju. Hampa dan sunyi menyelimuti segala sudut. Ia merasa seperti terdampar di tengah kuburan. Namun, untunglah beberapa meter kemudian, ia melihat seseorang yang sedang menikmati hembusan asap rokok. Pasti orang dari organisasi yang akan bertemu dengannya. Petrus segera menghentikan langkahnya dengan hati berdebar. "Berjalan ke kanan lebih demokratis."

Orang itu meredam bara rokoknya dan mendekati Petrus. Lalu keduanya saling memandang, tatapannya seperti pedang yang beradu. Namun, pada saat yang tak terduga, Petrus mengulurkan tangannya. "Salam kenal, saya Petrus, koordinator aksi damai."

Lihat selengkapnya