Salah Duga

Jhon Merari Hutapea
Chapter #17

Dua Cangkir

Pada sebuah hari yang cerah di ibu kota, penduduk kelas menengah tengah sibuk dengan rutinitas harian mereka di kantor. Dengan penuh fokus, mereka berusaha mengejar tenggat waktu dan menunaikan tanggung jawab masing-masing. Meskipun teriknya mentari dan tekanan pekerjaan, mereka merasa lega ketika tiba waktu makan siang.

Seperti biasa, mereka berkumpul di warung makan pinggir jalan yang ramai atau memilih makan di restoran mewah yang terletak di dalam mall. Tiba-tiba suasana riuh, soalnya mereka terkejut dengan kabar yang amat mengerikan. Kabar yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Sepertinya, malaikat pencabut nyawa yang dikenal dengan nama krisis moneter telah mendarat di Indonesia. Dalam kebingungan, mereka mengingat bahwa krisis moneter baru-baru ini terjadi di negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Namun, kenyataan yang mengejutkan menghampiri mereka, krisis moneter kini telah menjejakkan kakinya di atas langit ekonomi nusantara. Rasa takut dan kekhawatiran menyelimuti pikiran mereka, karena mereka menyadari bahwa satu kali sabetan dari malaikat itu akan memicu pergolakan besar yang tak terhindarkan.

***

Duduklah Petrus dengan gelisah di dalam ruangan yang megah, sebuah tempat kopi yang terhias indah. Matanya tak henti-hentinya melirik sekelilingnya, seolah-olah ia berusaha memastikan sosok perempuan yang sedang ditunggunya akan segera tiba. Dua puluh menit telah berlalu, dan rasa cemas semakin menghimpit dirinya. Dalam keputusasaan, ia memanggil seorang pramusaji dengan harapan.

Sang pramusaji terkejut dan berlari cepat sambil membawa menu. Setibanya di dekat Petrus, sang pramusaji bertanya sopan, "Permisi, tuan, ada yang bisa saya bantu?"

Petrus menjawab tegas, "Satu gelas kopi hitam yang pahit, tanpa gula ya!"

Sang pramusaji memberikan kode kepada barista untuk segera bertindak. Sementara itu, Petrus kembali pada rutinitasnya yang membosankan, seperti seorang pemburu tanpa harapan. Matanya terus memantau dengan penuh perhatian, seolah-olah di hutan yang kering tanpa daun lebat. Sikapnya seperti pemburu yang cemas, berharap menemukan daging rusa lezat dan kenyal di mulutnya. Namun, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kelompok hewan yang diburu telah dimakan oleh gelombang api yang dahsyat. Si pemburu hanya bisa berandai-andai bahwa hewan lain akan muncul, tetapi ia berakhir dengan kelaparan karena tak menemukan makanan.

Sementara itu, sang pramusaji mendekati Petrus dengan segelas kopi hitam yang pahit di tangannya. Dengan rendah hati, sang pramusaji meminta izin untuk meletakkan gelas tersebut di depan Petrus. Petrus menganggukkan kepala beberapa kali sebagai tanda persetujuan. Akhirnya, Petrus meneguk beberapa tegukan kopi itu sambil memperhatikan jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Fenny belum menampakkan wajahnya yang mempesona.

***

Fenny dengan teliti merias wajahnya, berusaha menciptakan tampilan yang sempurna. Ia melihat cermin berkali-kali, khawatir riasannya terlalu berlebihan. Namun, tidak ada yang perlu diperbaiki. Hanya rasa kangen yang membuatnya agak berlebihan, seperti remaja yang mengalami kencan pertama, ia menjadi sangat gelisah.

Lihat selengkapnya