Pagi itu, suasana di Universitas Indonesia mengalami perubahan drastis sejak subuh. Mahasiswa tiba secara bertubi-tubi dan memenuhi seluruh area kampus. Wajah-wajah mereka terpancar ketegangan dan kegelisahan, namun semangat yang membara terlihat jelas dalam setiap langkah mereka. Di tengah kerumunan itu, ada yang sibuk mempersiapkan baliho-baliho besar, ada yang sigap mencetak poster-poster yang akan dibagikan kepada yang lain. Mayoritas mahasiswa berkumpul di suatu tempat, berdiskusi dan membahas isu-isu terkait KKN yang telah merajalela di seluruh jajaran pemerintahan.
Saat topik KKN disebutkan, amarah dan kekesalan seakan-akan mengisi udara. Para mahasiswa merasa muak dengan kondisi tersebut. Mereka merasa terhina dan ditindas oleh praktek-praktek tidak bermoral dalam pemerintahan orde baru. Kekecewaan yang meluap membuat beberapa dari mereka bahkan melompat sambil mengepalkan tangan, seolah-olah melepaskan segala ketegangan yang terpendam. Seruan "Merdeka! Merdeka! MERDEKA!" terdengar penuh semangat, seakan ingin melawan segala bentuk penindasan yang mereka rasakan.
***
Sisi lain dunia selalu berjalan beriringan. Begitu juga ketika para mahasiswa berembuk menentukan kebenaran, ada dua orang berpengaruh yang bekerja sama merancang peristiwa menggempar. Mereka adalah Ajung Pribadi dan sang jenderal. Di bawah langit pagi yang cemerlang, keduanya tengah asyik bermain golf.
Ajung Pribadi dengan mantap memasang kuda-kuda untuk memukul bola golf, matanya terfokus ke arah yang cukup jauh. Sementara sang jenderal berdiri di belakang, seolah mengamati gestur tubuh partner golf-nya. Tak lama kemudian, sang jenderal menyalakan cerutu di tengah lapangan golf. Seorang gadis yang biasa disebut caddie girl mencoba menahan upaya tersebut, tapi ia ditegur oleh temannya. Sang jenderal tetap merokok cerutu mahalnya.
Setelah Ajung Pribadi melepas bola golf itu ke arah yang amat jauh, Ajung mendekati sang jenderal, di bawah cahaya pagi yang memperlihatkan rona wajahnya yang dingin namun karismatik. Cahaya itu juga memantulkan kilauan dari deretan gelang emas yang memenuhi pergelangan tangannya. Sang jenderal menyaksikan kedatangan Ajung dengan tatapan yang tersembunyi di balik ketegasannya.
Setelah berdiri berdampingan, Ajung mengajukan sepotong permintaan. Di mana ia meminta bantuan pasukan elit, karena mau menyapu preman dan anggota keamanan di pelabuhan Tanjung Priuk.
"Gimana pak, bisa tidak ya," tanya Ajung memastikan sekali lagi.
Sang jenderal tersenyum, menyiratkan pemahaman mendalam atas apa yang sedang dipinta oleh Ajung. Dengan mantap, dia mengangkat alisnya, dan memutuskan untuk memberi persetujuan. Keheningan melingkupi lapangan golf mereka, seakan alam semesta pun meresapi momen penting ini.
Sang Jenderal mengangkat alisnya seraya berkata, "Pelabuhan Tanjung Priuk? Itu bukan main-main, Ajung. Menghadapi preman dan anggota keamanan di sana bisa sangat berisiko."
Ajung Pribadi menghela nafas dengan mantap, lalu menjawab, "Itu sebabnya saya membutuhkan bantuan pasukan elit. Dan Anda adalah satu-satunya orang yang dapat menyediakan itu."
Sang Jenderal merenung sejenak, menilai permintaan Ajung dengan bijaksana. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
"Dalam tiga puluh menit, pastikan pasukan elit kita siap di pelabuhan Tanjung Priuk. Persiapkan semuanya," tegas Sang Jenderal berbicara lewat telepon.
Ajung mengangguk menghormati, menyadari bahwa sang jenderal telah menyetujui permintaannya. Tetapi di balik penampilannya yang tenang, hatinya berdebar-debar. Tugas besar ini akan menentukan tak hanya nasib bisnisnya, tetapi juga nasib hidupnya.
Dengan senyuman puas, Ajung menyatakan, "Terima kasih, jenderal. Kali ini kita akan menyelesaikan masalah itu dengan cara kita sendiri."