Lautan manusia mengalir serentak di jalan protokol ibu kota, sementara aparat keamanan berjaga di setiap sudut dengan senjata-senjata mereka yang siap digunakan. Tindakan tersebut diambil semata sebagai langkah pencegahan jika emosi masyarakat meluap dan orasi-orasi menjadi tak terkendali.
Tengah berada di kerumunan manusia yang padat, terlihatlah seorang individu yang sibuk dengan pager di genggamannya. Dengan fokus, ia terus mengirimkan pesan-pesan berkode kepada seseorang yang mungkin berada di tempat yang tidak diketahui. Individu tersebut dikenal sebagai Fenny.
Tiba-tiba, sepotong pesan muncul di layar pager yang dipegang oleh Fenny. Detik-detik penuh kewaspadaan menghiasi pikirannya saat ia membaca isi pesan tersebut. Meskipun kalimatnya ambigu, pesan tersebut memiliki makna bagi Fenny, pesan itu adalah sebuah pertanda yang menggembirakan.
Sepotong kalimat yang tertulis di sana berbunyi, "Api sudah membara, hanya butuh satu orasi yang menyerang pemerintah."
Ini menjadi pertanda bahwa kode tersebut akan menjadi isyarat bagi mereka untuk memulai tindakan yang telah mereka rencanakan dengan cermat.
Dengan senyuman lebar yang memperindah wajahnya, Fenny dengan cepat menghentikan langkahnya, memilih untuk meninggalkan Petrus dan para teman-temannya. Kini, ia bisa mendapatkan pandangan yang lebih jelas dari kerumunan manusia di sekitarnya. Wajah-wajah yang ada di sana terasa asing, tidak ada satu pun yang dikenalinya. Namun, hal tersebut justru membuatnya sangat gembira, menandakan bahwa orang-orang ini telah berhasil menyusup ke dalam gerakan aksi damai.
Setelah yakin akan fakta-fakta yang tersemat dalam benaknya, Fenny dengan otomatis menjaga jarak agar tidak terkena dampak dari kobaran api yang meluap.
***
Sebuah sepatu hitam berjalan di atas karpet merah. Sepatu kulit hitam yang cemerlang sempat berhenti di depan asbak rokok. Lalu tak lama, abu cerutu jatuh mengenai sepatu hitam itu. Kemudian, sebuah sarung tangan berwarna putih menghampiri permukaan sepatu, lalu menyapu abu cerutu sampai lenyap. Tak lama kemudian, jemari telunjuk memijit tombol.
Setelah satu menit berlalu, semuanya tenang.
Pintu lift telah terbuka lebar. Ajung Pribadi masuk sambil merokok cerutu. Di kanan dan kiri, ada empat orang berbaju corak hijau, lengkap dengan persenjataannya. Mereka berlaku tenang dan bersiaga terus. Ting! Bunyi menandakan lift sudah sampai di lantai yang dituju. Pintu lift terbuka lebar. Dua orang berjalan lebih dulu, diikuti oleh Ajung Pribadi, barulah dua orang di belakang berjalan mengikuti gerombolan tersebut.
Kini mereka sudah tiba di depan pintu kamar. Tidak lama suara cekikikan di dalam terhenti, digantikan oleh suara langkah orang berlari cepat yang membuka pintu kamar. Lalu tampillah seorang gadis belia tanpa sehelai benang pun terjuntai di sekujur tubuhnya. Mereka otomatis tertunduk malu-malu tapi mau, termasuk Ajung Pribadi. Dalam benaknya, jenderal ini benar-benar nyentrik sekali. Namun, ia tidak punya kapasitas untuk menilai moral partner bisnisnya. Ia lebih cocok menilai kapasitas rekannya dalam menopang rencana besarnya itu.
Gadis belia meminta mereka untuk masuk. Setelah mereka berjalan, gadis belia lekas masuk ke dalam kamar mandi untuk berbenah. Setelahnya, ia seolah lenyap ditelan bumi, sebuah istilah klise.
Kemudian sang jenderal meminta Ajung Pribadi untuk duduk di pinggir kasurnya yang berantakan.
"Bagaimana dengan bagian saya?" tanya sang jenderal membuka topik pembicaraan.
Tangan kanan Ajung Pribadi segera merogoh jasnya. Ia kemudian mengambil sebuah amplop cokelat yang tebal. Di dalam amplop itu terdapat uang ratusan juta, barangkali hampir tiga ratus juga. Sayangnya, sang jenderal tidak punya waktu untuk memeriksa. Jadinya, ia menerima dengan asas percaya saja.
Lalu mereka diam sejenak. Sampai kemudian sang jenderal berbicara lagi, walau sedikit terbata-bata.
"Boleh saya memberi kamu satu hadiah yang terlupakan!"
Ajung sudah berdiri, sebab ia harus segera pergi, namun rasa penasarannya tidak bisa ditampung.