Fenny memeluk tubuh Petrus dengan penuh kehati-hatian. Sementara Petrus masih diam membeku. Mulutnya terkunci rapat, sambil kedua tangan terjuntai di bawah. Seolah-olah seluruh tenaganya telah hilang. Padahal ia baru saja bangkit dari kematian.
"Gimana perasaan kamu?" tanya Fenny lembut. Ia seolah belum menyadari ada yang aneh dengan kondisi Petrus.
Jeda hening hadir di antara mereka. Fenny akhirnya melepaskan pelukannya. Menatap mata Petrus yang tampak kosong dan hampa. Ia menyadari bahwa tubuhnya telah bangun, namun kesadarannya masih memerlukan waktu untuk pulih.
"Yasudah, jika kamu belum siap berbicara. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa kini kamu tinggal di rumahku. Jadi kamu tidak perlu khawatir tentang keselamatanmu, baik?" jelas Fenny dengan lembut.
Fenny mencoba bangkit berdiri, menyadari bahwa Petrus membutuhkan waktu untuk mengolah segalanya. Namun, sebelum sepenuhnya bangun, Petrus memegang tangan Fenny dengan lembut. Ia tersenyum.
"Aku mengucapkan terima kasih. Tunggulah sebentar ya."
Fenny menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa peringatan.
***
Sebuah mobil Mercedes berhenti di depan Hotel Mulya. Seorang bellboy membuka pintu mobil dengan penuh penghormatan. Ajung Pribadi berjalan yakin tanpa melihat orang itu. Ia masuk ke dalam lobi lalu menuju lift. Ia memijit tombol untuk membuka pintu lift, dan tak lama kemudian pintu lift terbuka. Ia lalu masuk dan menekan angka 10.
Semenit berlalu dengan tenang. Pintu lift sudah terbuka. Ajung berjalan melewati selasar lantai sepuluh tanpa ada kehadiran orang. Sampai ia menemukan angka lima belas. Ia lantas mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali. Terdengar suara langkah kaki mendekat pintu. Setelahnya, kenop pintu diputar dan tampak ada tiga orang anak buah berbaju corak hijau yang tersebar di seluruh baju dinas mereka.
"Masuk, Pak!" perintah seorang komandan.
Sementara anak buahnya memeriksa kantong Ajung Pribadi. Setelah dinyatakan aman, mereka mempersilahkan Ajung untuk masuk ke dalam kamar. Ia cukup kaget melihat sang jenderal ditemani oleh seorang anak gadis berumur belia. Namun wajahnya tetap tenang, sambil memberi gestur tubuh yang normal.
"Boleh duduk!"
Jenderal itu memberi kode untuk duduk. Ia lalu meminta gadis belia itu untuk berpakaian dan meninggalkan kamar.
"Jadi, apa yang ingin kita bicarakan?"
Ajung Pribadi mengeluarkan sebatang cerutu mahal dan menyalakannya.
"Saya hanya ingin menciptakan sejarah, dan peristiwa ini akan menjadikan Anda sebagai orang terpercaya di seluruh negeri!"
Perwira itu menegakkan tubuhnya. "Bagaimana caranya?"
Ajung Pribadi tersenyum puas. Terlihat jelas bahwa Jenderal menginginkan pengakuan nasional, setidaknya untuk masa depannya. Daripada hanya menjadi purnawirawan jenderal, seorang seperti dia seharusnya bisa menjadi presiden.
"Saya tidak bisa berkata banyak. Jika Bapak tertarik, silakan ambil map ini."
Sebuah map cokelat disodorkan ke arah sang jenderal. Ia dengan cepat membacanya.
"Langkah tim Anda sangat cerdik. Saya mendukung sepenuhnya. Jika diperlukan, saya akan memberikan aset untuk rencana Anda. Sebaiknya begini saja, Anda lakukan bagian Anda, sementara saya akan membantu dari belakang! Deal!"
Ajung Pribadi menyalami jenderal tersebut. Kesepakatan telah terjadi. Peristiwa bersejarah akan segera terjadi.
***
Julius dan Anton masuk dengan mantap ke dalam sebuah kamar gelap. Sorotan lampu neon menyilaukan dan mengungkap sosok Soe, pemimpin kelompok bawah tanah, yang tergeletak tak berdaya. Wajahnya yang memar menggambarkan penderitaan yang tak terkira. Dengan langkah berani, Julius mendekati Soe dan menendang tubuhnya. Mendadak, Soe bangun dengan wajah penuh kepanikan. Ia berusaha merayu dengan suara tergagap-gagap, berjanji tak akan menggunakan cara damai untuk unjuk rasa lagi.
Namun, Anton justru terkekeh dengan penuh kekejaman. Ia mendekati Soe, menggenggam erat tongkat satpam di tangannya. Dalam sekejap, Anton sudah berbisik selidik di daun telinga Soe.