Kasihan dengan tembok tua ini. Dia berteriak saat es batu pertama kali menghantamnya di pagi hari. Kekuatan tertinggi memang selalu datang dari hantaman pertama, lantas untuk yang kedua kali sampai es batu ini hancur menjadi beberapa bagian kecil, hantamanku berirama dengan lembut. Tembok pun hanya meringis. Ini adalah tugasku di pagi hari—menyiapkan air es untuk Kakak.
Kakak bangun pagi hanya untuk mencari air es. Kebiasaan kami yang suka minum alkohol memang seperti ini. Aku juga biasanya begitu setelah semalaman minum berpuluh-puluh gelas alkohol. Kami memerlukan sesuatu yang bisa mendinginkan tenggorokan, kerongkongan, dan lambung yang semalaman dikuasai rasa hangat. Kakak atau Nedi namanya, dia bangun dengan muka sembap, duduk di dapur sambil menggaruk-garuk hidungnya.
“Rumah ini akan runtuh sebentar lagi. Hancurkan saja es itu dengan kepala batumu, Harian.”
Ocehan Kakak membuat tembok kembali berteriak sekali. “Bagaimana kalau kepala Kakak dulu yang kucoba? Kepala batu tua lebih keras dan tajam.”
“Astaga, adik kurang ajar. Berorganisasi nggak membuatmu lebih baik.”
Aku tidak mengindahkan Kakak. Segelas air dengan pecahan-pecahan es batu yang sudah tenggelam di dalamnya kuberikan kepada Kakak. Lekas aku membuka tudung saji, lalapan semalam masih ada. Kakak menyisakannya untukku.
“Berorganisasi hanya membuatmu tua di kampus. Sepenting apa, Harian? Masa depanmu atau aktivitas yang berbahaya itu?”
Nasi dan ayam bakar terasa tidak sedap di lidahku. Sarapan sehari-hari memang selalu begini, didampingi semprotan-semprotan bau dari mulut Kakak. Segelas air dingin di meja terbiarkan begitu saja, sementara pemiliknya masih terus mengoceh. “Aku keselak. Kalau airnya nggak diminum, aku yang minum, ya.”
“Orang dulu bilang kalau lagi makan nggak boleh bicara. Terlalu berorganisasi membuat kamu apatis dengan aturan. Yang kamu lakukan dengan teman-temanmu itu ditentang pemerintah. Risikonya besar. Kalian bisa ditangkap.” Kakak meneguk air esnya sampai habis. Dia sedang marah besar, pagi memang waktunya dia begitu. Aku tahu dia khawatir denganku, tetapi yang dia katakan tidak benar seratus persen. Aku tidak melakukan aktivitas berbahaya dengan teman kuliahku. Aku hanya mahasiswa biasa, hanya menjadi anggota dalam sebuah organisasi kampus. Di organisasi itu, kami hanya berdiskusi tentang hal-hal yang tidak perlu ditakutkan pemerintah. Aku sudah menjelaskan kepada Kakak berulang kali, tetapi isinya tidak masuk ke otak Kakak. Aku paham, dia hanya terlalu mengkhawatiriku yang sudah menua di kampus.
“Coba jawab, Harian. Mau sampai kapan?”
Masih tersisa sesendok nasi dan secuil sayur di piring, dan kubiarkan saja. Mataku tertuju ke Kakak. Aku mengangkat piring sebagai atribut, lalu mulai berbicara dengan gerak tangan dan mulut, tanpa ada suara. Orang dulu bilang kalau makan nggak boleh bicara. Piring pun menjadi licin ketika maksudku sudah tersampaikan dengan baik ke Kakak yang bengong.
Sore ini, aku bersama teman-teman akan berkumpul di warung favorit kami. Pemilik warung ini sangat dekat dengan kami. Namanya Hendrik—laki-laki yang dermawan ini membebaskan kami berkumpul di tempatnya, selagi kami membeli kopi di warungnya. Warung kopi ini berada di luar kampus, sehingga tidak pernah ada intel yang menciduk kami saat berdiskusi tentang isi dari buku-buku yang dianggap kiri. Semoga tidak akan diciduk sampai kapan pun. Kalau pun diciduk, semoga saja saat kami lagi berdiskusi sepak bola Eropa.