Salah Rumah

Ajis Makruf
Chapter #3

Tak Terkendali

Seandainya hukum main hakim sendiri diperbolehkan, maka sudah pasti Hendrik akan mati di tangan-tangan kami.

Hendrik mengakui perbuatannya menaruh racun di kopi As. Kenyataan ini tidak mudah dimengerti. Orang ini baru saja tertawa bersama As, lantas mengapa Hendrik tega? Kebaikan As dilupakan begitu saja, maka Nordi dan Ronal di tengah kerumunan, berhasil melepas sekali pukulan cepat ke wajah Hendrik. “Dasar, pembunuh! Pecundang! Pengecut!” Setelah Nordi menyumpahi, nama-nama hewan juga keluar dari mulut Ronal.

Tiga bulan setelah kematian As, kami berenam jadi jarang berkumpul. Terakhir kami berkumpul di hari pemakaman As. JR, Rio, dan Kevin hanya sesekali datang bertemu denganku. Sepeninggal As, kami seperti tercerai-berai. Tujuan kami kandas. Ikut aktivitas organisasi sudah jarang. Berdiskusi sudah tidak pernah lagi di warung Hendrik—karena yang di Slipi tutup, sudah pindah ke lapas.

Aku diberitahu Rio dan JR dengan pemikiran mereka yang rasional mengenai kasus pembunuhan As. Apa motif Hendrik membunuh As? Hendrik punya keluarga, dia tahu risiko dari perbuatannya itu akan melantarkan mereka. Opini-opini Rio dan JR ini sama sekali tidak tersampaikan dengan baik di otakku yang sekarang. Aku terlalu mabuk oleh alkohol. Tapi suara-suara Rio terus kudengar untuk dicerna besok saat aku sedang normal.

“Pengakuan Bang Hendrik nggak masuk akal seperti sebuah sandiwara. Walau buktinya ada, tapi motifnya nggak jelas,” kata Rio.

“Uang?” JR beropini. “Hendrik rela membunuh kita semua, aktivis berbahaya ini, demi kesejahteraan keluarganya. Ada pihak lain yang mengatur Hendrik.”

Uhuk!” Aku berbatuk ketika alkohol melewati kerongkongan. “Itu dia, JR!”

Rio memukul-mukul pundakku sembari menasihati untuk aku berhenti meminum alkohol. “Kemungkinan diskusi kecil kelompok kita bertujuh sudah diketahui mereka. Bang Hendrik bisa saja ditekan untuk melakukan perbuatan keji itu,” ucap Rio lagi. “Aku tetap ikut organisasi. Membantu menjatuhkan rezim.”

“Lu juga, JR?” tanyaku.

“Ya.”

Kepalaku pusing karena alkohol sudah menguasai seluruh raga ini. “Kevin gimana?”

“Kevin ikut permintaan As, dia mau cepat jadi sarjana seni,” jelas Rio.

JR sedikit tertawa. “As itu hebat, ya. Dia bisa mengatur semuanya.”

Aku menunjuk-nunjuk JR. “Lu benar. Lu benar.” Lantas aku bertanya kabar Ronal dan Nordi. “Kalau dua bangsat itu gimana?”

Lihat selengkapnya