Salah Rumah

Ajis Makruf
Chapter #4

Terkunci

Persetan dengan tulang kering yang menghantam lantai. Rasa sakit ini lekas hilang, dikalahkan rasa takut dengan enam setan yang memelotot kepadaku. Tubuhku tiba-tiba terpelanting ke tembok karena ada yang menabok pipi. Aku bangun lagi untuk lari, tetapi kaki terantuk seperti ditekel.

Apa-apaan ini? Satu setan di depanku melayang, dan baru kali ini aku melihat wajahnya dengan jelas. Dia mirip Nordi, atau memang itu Nordi? Napasku yang memburu menjelaskan kalau aku tidak peduli dulu dengan siapa dia, tetapi kabur adalah prioritas.

Ketika kakiku sanggup berlari lagi, segala doa aku rapalkan dengan keras—doa makan, doa untuk Ayah dan Ibu, doa setelah azan. Aku berlari dengan membentuk huruf z, sebuah strategi dari orang-orang cerdas yang bisa kupakai saat diburu makhluk-makhluk buas ini. Tuhan melindungi aku dari setan. Lariku membawa aku ke lantai atas, lantai dua. Dan ketakutan ini membuatku sampai di sebuah ruangan baru.

Pintu ruangan ini langsung kututup dengan rapat. Lekas aku bersembunyi ke dalam sebuah lemari. Aku menahan sedikit napas, mengeluarkannya pelan-pelan agar setan tak mendengar suara napas yang ngos-ngosan ini. Sampai mereka tahu aku bersembunyi di dalam lemari, maka habislah ceritaku di sini.

Aku mengutuk diriku sendiri yang bodoh ini. Bagaimana bisa semalam aku salah masuk rumah, dan malah terjebak di rumah tua mengerikan ini. Ketika aku menyesali diri, samar-samar terdengar suara manusia. Suara mereka di luar sana mengiringi pernapasanku yang pelan-pelan ini. Apa benar itu suara manusia?

Pertentangan antara logika dan rasa takut mengisi kepalaku selama beberapa menit. Mana mungkin ada setan, itu jelas suara manusia. Namun tadi, mataku juga dengan jelas melihat setan. Sialan, aku sampai berkeringat karena ketakutan.

Di dalam lemari ini terlalu susah untuk bernapas. Pengap karena banyak debu. Selain itu, ada juga buku-buku yang memberi ruangku semakin terbatas di dalam lemari. Situasi ini memaksaku untuk segera ingin keluar. Ditambah rasa penasaran dengan suara manusia tadi, maka rasa takut kepada setan pun berkurang.

Aku keluar dan berdiri memandangi sekitar ruangan ini. Tidak muncul setan di mana-mana, tetapi aku masih siap siaga bila mereka kembali muncul tiba-tiba. Ruangan ini sangat padat diisi rak-rak buku yang berbanjar. Luasnya sedikit lebih besar dengan ruangan di bawah tadi. Bisa dikatakan ruangan ini adalah perpustakaan mini.

“Harian!”

“Setan!” Aku hampir saja berlari, kembali bersembunyi di dalam lemari tetapi tangan panas seseorang menarik bahuku.

“Mana setannya?!” Suara manusia yang kudengar tadi sama persis dengan suara ini. Melengking. Saat aku berpaling, pemilik suara ini ternyata adalah Ronal. Dia bersama Nordi yang berdiri sedikit di belakangnya.

Aku memekik. Kenapa mereka juga ada di rumah ini? Terlebih lagi Nordi. Aku baru saja melihatnya sebagai setan yang mengerikan. Wajahnya sudah membiru. Perutnya sedikit berlubang. Tapi sekarang, Nordi berdiri di hadapanku dengan tubuh yang utuh dan hidup. Apa Nordi, dan juga Ronal, hanyalah jadi-jadiannya makhluk halus? Tidak mungkin, pikiranku ini terlalu menggelikan kalau saja Nordi dan Ronal tahu. Mereka jelas akan meledekku.

“Setan? Mana ada?” Aku berpretensi agar Ronal yakin keberanianku selalu dibawa ke mana-mana, bahkan di rumah tua mengerikan ini. “Buat apa kalian di sini?”

Ronal menggaruk-garuk hidungnya. “Butuh air es. Lu juga, kan?”

“Nah itu dia.”

Meminum air es di pagi hari adalah keharusan bagi aku, Ronal, dan Nordi yang semalaman habis mabuk alkohol. Sebenarnya pagi ini aku tidak terlalu membutuhkan air es. Sebenarnya aku lebih memilih bertahan di ruangan ini, sedikit lebih lama, karena masih ada rasa takut dengan setan-setan itu. Namun karena teman-teman pemabukku ini sudah mengajak, maka sekarang juga aku pun memberanikan diri turun ke lantai bawah untuk keluar menghirup udara segar.

 Kami bertiga jalan beriringan, tidak ada satu pun yang mendahului. Aku punya pemikiran kalau Nordi dan Ronal yang pemberani ini juga menghadapi rasa takut. Benar atau tidak, jelas mereka sedang berusaha menyembunyikan rasa takut, tapi entah kepada siapa. Tiba di pintu ruang tamu dari rumah ini, aku mempersilakan Ronal untuk membuka pintu.

“Ada apa?” tanya Nordi, ketika Ronal mulai terlihat kesusahan membuka pintu. Pintu ini terbuat dari besi, sangat berbeda dengan pintu rumah ini—yang kulihat semalam rasanya terbuat dari kayu ringkih.

“Dikunci.” Ronal masih berusaha sekuat tenaga dengan mendobraknya beberapa kali. Hingga aku dan Nordi juga membantu mendobrak, pintu ini pun masih tidak terbuka.

Lihat selengkapnya