Tidak ada teman yang berperan menjadi beban. Aku percaya itu ketika mulai berteman dengan mereka berenam—walau berulang kali salah satu di antara kami berteriak kepada teman-temannya ini adalah beban. Dialah Nordi Alkatiri yang berteriak begitu kepada aku, Ronal, Kevin, Rio, dan JR. Nordi hanya mengakui As yang terhebat. Namun begitulah Nordi—anak gegabah satu ini tidak pernah mengakui kami dengan kata yang keluar dari mulutnya, tetapi dari perbuatan yang tanpa pamrih. Aku membuktikannya sendiri saat perkelahianku dengan Nordi terjadi.
Ketika aku tidak dapat membayar uang kuliah dalam satu semester, lantas Nordi datang dan memaki kepadaku karena sudah menjadi beban bagi Kak Nedi. Dia mengatakan begitu dengan bersungguh-sungguh. Hinaan-hinaannya pun semakin menyangkak hati. “Lu persis anak babi yang cuma bisa berjalan di belakang induknya.” Nordi tertawa. Lantas siapa yang bisa tahan dikatakan begitu, walau dari teman sendiri? Aku menantang Nordi berkelahi supaya semua yang menjijikkan darinya ini bisa dienyahkan dengan pukulan sekeras batu milikku. Dengan pongahnya, Nordi balik menantang bertaruh—siapa yang kalah maka dia harus rela melakukan apa pun kepada pemenangnya. Jelas aku menerimanya dengan mudah.
Tanah lapang banyak batu-batuan menjadi saksi mati perkelahian kami. Nordi kena pukul beberapa kali sampai wajahnya berdarah, sementara aku kena tendang sampai perut ini mual.
Lama kami berkelahi. Pukulan dan tenaga kian melemah. Napas satu-dua, hingga Nordi tidak dapat berdiri lagi, dan aku pun berdiri dengan terhuyung. Lalu dengan duduk di depan Nordi yang masih telungkup di tanah, maka kemenanganku pun dapat dipastikan.
“Bayar uang semester pakai ini.” Beberapa lembar uang dari sakunya ditaruh di tanah. “Kalau lu nggak terima, berarti lu yang kalah.”
“Simpan uang lu.”
“Ya sudah. Gue minta maaf. Lu bukan anak babi. Tapi induknya.”
Tangan ini kembali menabok wajah Nordi, tetapi aku tertawa. Nordi meringis kesakitan lalu tertawa dengan sengal. Aku bersikeras menolak uang Nordi, tetapi dia memberikan segalanya untuk temannya ini. Bukan hanya uang, tetapi rasa ingin mengalah—hal terbesar dari sosok Nordi yang keras kepala.
“Mulai besok datang ke bengkel Ayah gue. Dia lagi butuh montir cadangan. Lu bisa kerja di sana sebulan buat ganti uang gue.” Nordi tertawa hingga terbatuk-batuk.