“Vinola?” Kevin mencelus, wajahnya kebingungan.
Vinola dan perempuan manis ini membuat aku tambah pusing. Hadirnya mereka di rumah ini kian memperbanyak hipotesis tai kucing. Vinola yang merupakan pacar dari As, bisa saja menjadi orang yang dimaksudkan dari kertas itu. Lalu siapa lagi perempuan berwajah mungil ini? Tatapanku yang membingungkan, apalagi Kevin yang lebih bingung di sana ditanggapi Vinola dengan berucap, “Di mana jalan keluarnya?” tanyanya, dengan nada acuh.
“Hai, Vinola,” sepintas aku menoleh ke perempuan di samping Vinola, “hai, Nona, kenapa kalian datang ke sini?”
“Gue dapat pesan di hand phone, katanya seseorang di rumah ini adalah pembunuh As, yang membantu Hendrik,” jawab Vinola. Gadis ini lahir dari keluarga yang sudah kaya. Kabar yang kutahu dari As, ayahnya Vinola punya pabrik tebu di beberapa daerah di Pulau Jawa. Aku jadi tidak heran kalau Vinola juga punya hand phone seperti Kevin.
“Hand phone-nya kamu bawa?” tanya Rio.
Vinola menggeleng. “Bagaimana dengan kalian semua?” Vinola balik bertanya. “Ada yang mau mengakui kalau As bukan hanya dibunuh Hendrik? Siapa di antara kalian yang juga membunuh As?”
Vinola marah-marah. Kami tidak ada yang bisa menenangkannya. Semua omelannya kami dengarkan. Semuanya itu menyudutkan kami. Beruntung perempuan manis bersamanya ini menahan Vinola yang mungkin saja akan menyeruduk kami berlima.
“Aku datang ke sini untuk mencari harta karun,” kata perempuan itu, lalu menekan kontak lampu di dekat pintu. Seketika ruangan ini menjadi lebih terang.
Aku tertawa. Entah karena kata-katanya yang lucu, atau orangnya yang lucu dan menggemaskan.
“Harian!” bentak Vinola. Dia mungkin tahu temannya itu sudah berhasil menarik perhatianku, sehingga tidak boleh bagiku yang pemabuk ini melakukan pergerakan berlebihan.
“Vinola, kami berlima tertahan di rumah ini. Nordi meninggal setelah tertembak. Kita harus cari orang yang bunuh As di dalam rumah ini agar bisa keluar dengan selamat,” kata Rio.
Vinola terduduk dan tiba-tiba saja menangis. Temannya yang manis itu berusaha menenangkan Vinola. Rasanya kakiku melangkah dengan sendirinya mendekati mereka. Aku tidak tahu apa alasannya, apa ingin menghibur Vinola atau ingin bertanya siapa perempuan manis ini. Namun bukan hanya aku yang sudah di dekat Vinola dan temannya, Ronal juga sudah bersamaku berdiri dengan congkak. “Apa maksud lu dengan harta karun di rumah ini?” tanya Ronal.
“Aku?” Perempuan manis ini tersenyum, dia membiarkan Vinola yang sudah lebih tenang duduk sendirian. Aku menjerit dalam hati melihat senyumannya yang dihiasi lesung kecil di pipi, seperti ceri di pie yang manis.
“Mau siapa lagi?”
“Di setiap rumah selalu ada harta karun, kan? Setiap penghuni rumah menafsirkan harta karun dengan berbeda-beda. Dan di rumah ini, sepertinya ada harta karun yang sesuai dengan arti harta karun di dalam pikiranku.” Perempuan ini berdiri di hadapan Ronal. Aku bisa melihat matanya yang indah. Dia mengulurkan tangannya ke Ronal. “Namaku Dian.”
Pongahnya Ronal bukan main-main lagi. Tangan Dian dibiarkan begitu saja tanpa peduli oleh anak kurang ajar ini. Karena tidak tega melihat perempuan ini diacuhkan, maka tangannya itu lekas kugenggam. “Namaku Harian.” Dian tersenyum manis kepadaku. Sepertinya aku akan jatuh cinta kepadanya. Tangannya lembut dan sanggup membuat hatiku berdebar, tetapi Ronal dengan kurang ajar menabrak sepasang tangan yang bergenggaman ini. Anak setan itu melangkah, entah mau pergi ke mana melewati bibir pintu yang terbuka.
“Sebaiknya kalian semua tinggal saja di rumah ini, sampai keadaan di luar sana benar-benar aman untuk aktivis mahasiswa seperti kalian.” Monolog Dian ini menghentikan langkah Ronal pergi. “Mahasiswa ditembak. Empat mahasiswa Trisakti telah gugur.”
“Lu tahu itu dari mana?” tanya Ronal.
“Kabar ini sudah menyebar dengan cepat sejak siang tadi sampai malam ini.” Dian mengangkat lengannya, sebuah jam tangan mungil melekat di sana. “Kalau kalian berada di luar, seharusnya kalian sebagai aktivis mahasiswa juga tahu hal ini. Tanggal 12 Mei 1998 akan diingat sebagai hari gugurnya mereka yang sudah rela berkorban menumbangkan rezim ini.”
Kalau benar yang dibilang Dian, lantas JR dan Rio seharusnya tahu tentang peristiwa memilukan ini. Mereka baru saja tiba di sini hari ini setelah ikut demonstrasi. Namun dari keterangan mereka tadi, tampaknya ada sedikit keraguan yang menyangkut di pikiranku.
“Rio, Jr, kalian nggak tahu peristiwa itu?” tanya Kevin.
“Kalau mereka nggak tahu, berarti Rio dan JR nggak ikut demo,” kata Vinola di tengah-tengah tangisannya.