Semuanya telah kembali di ruang makan. Aku tertegun ketika Dian dan Ronal mengaku pintu tidak bisa dibuka. Begitu juga dengan Rio dan Vinola, lalu Kevin dan JR.
“Harian?” tanya Dian.
Aku tersenyum. “Nggak bisa juga.”
“Harian, pintu belakang gimana?” Ronal kembali bertanya. Tatapannya penuh curiga kepadaku.
“Nggak bisa.”
Sialnya, Ronal bisa menangkap keraguanku ini. Dia pergi ke belakang rumah dengan lekas. Aku tidak bisa menahannya, dan kami semua pun mengikuti Ronal.
Tibalah kami di lorong besar yang menghubungkan dapur dengan pintu belakang. Aku dan lainnya berdiri di lorong, sementara Ronal sudah di dekat pintu memegang gagangnya. Keringatku cukup penuh di wajah. Cemas rasanya jika Ronal sialan ini bisa membuktikan pintu belakang dapat dibuka. Ketika gagang pintu sudah ditarik Ronal, tapi pintu tak bisa terbuka, aku sedikit merasa lega dan terkejut. Kenapa pintu ini terkunci lagi padahal tadi jelas sempat terbuka? Ronal yang gusar menghantam berkali-kali besi tebal itu dengan tendangannya, tetapi pintu masih terkunci rapat.
“Sudah gue bilang nggak bisa dibuka.”
“Hah… Hah... Kalau gitu sekarang giliran Vinola.” Ronal berbalik, menghadap menuju kami.
“Pintu nggak akan terbuka dengan permainan konyol seperti ini,” sanggah JR. Dia berjalan mendekati Ronal. “Gue yang bunuh As.” JR melewati Ronal, lalu berusaha membuka pintu. Beberapa kali dia menarik gagang pintu dan mendorongnya tetapi tidak terbuka. JR mundur selangkah. “Vinola yang bunuh As.” Pintu besi itu kembali ditarik dan didorong JR tetapi pintu tetap tidak bisa terbuka. “Rio pelakunya!” Dan semua yang JR lakukan secara repetitif ini berakhir dengan hasil yang sama.
“Kita kayak orang bodoh,” kata Kevin, lalu dia pun pergi.
Apa yang dikatakan Kevin sekarang menjadi benar. Hal yang tadinya masuk akal ini, sesungguhnya terlalu bodoh dan konyol ketika kami sudah mempraktikkannya. Dalang dari ini semua tidak akan membiarkan pintu terbuka hanya dengan mengungkap siapa pembunuh As secara impulsif. Selain Kevin, JR juga bisa jadi benar—untuk mendapatkan jalan keluar maka harus ada cara yang lebih komprehensif untuk mencari pelaku pembunuh As.
Namun ide Ronal tadi yang diikuti kami semua hampir saja menjadi benar ketika pintu belakang rumah ini sempat terbuka olehku. Rasanya aku sudah takluk oleh cinta pada pandangan pertama sehingga informasi ini pun tidak kusampaikan dengan jujur ke lainnya. Mungkin memang Dian pelakunya, tetapi nyatanya kami masih terkurung di rumah ini. Jika memang begitu, perlu ada deduksi yang jelas untuk menebak siapa pelaku pembunuh As di dalam rumah ini.
Dan kini giliran tubuhku yang perlu dibersihkan dari keringat dan daki yang sudah menumpuk sejak kemarin. Selama di rumah ini, aku belum mandi. Harumnya Dian yang sudah mandi lebih dulu membuat aku yang bau begini jadi tahu diri untuk juga pergi mandi. Apalagi si Ronal sialan ini juga tahu-tahu sudah mandi dengan rambutnya yang basah.
“Kamar mandinya kosong,” kata Ronal.
Aku tidak peduli dengan informasi itu. Langkahku terus menuju kamar mandi entah kamar mandinya kosong ataupun diisi makhluk halus sekalipun.
“Eh, maaf.” Aku berdiri mematung sebentar, lalu berbalik dengan rasa sungkan. Taik si Ronal, dia jelas menipuku. Debat antara Kevin dan Vinola di depan kamar mandi menunda sebentar ritual menghilangkan bau asam di badanku ini. Dua orang itu tidak peduli, aku sudah pergi dengan sungkan tetapi mereka terus melanjutkan perdebatan. Ah, aku jadi berburuk sangka. Bisa saja perasaan Kevin yang dulu bergejolak untuk Vinola masih selalu disimpannya, dan kini dia akan meletuskannya di rumah ini. Aku sungguh prihatin dengan Kevin. Aku mengakui dia paling ganteng di antara kami bertujuh, tetapi Kevin adalah pengemis cinta yang mengenaskan.
Langkah ini terus membawaku menjauhi kamar mandi di bagian kanan dari rumah ini. Di tepi ruangan, kulihat JR sedang berbaring santai di atas velbed. Aku memekik sial. Sebenarnya tujuanku adalah bersantai di velbed yang tadinya masih kosong itu, tetapi JR sudah merebutnya lebih dulu. Terpaksa aku hanya berdiri, menopang punggungku di sebuah lemari kecil yang rapat dengan tembok.
Baru saja menarik napas enteng, JR yang memejamkan mata di sampingku ini berceloteh tentang hidupku. “Nggak usah minum lagi. Lu sama Ronal tambah gila lama-lama.”
“Ya, tapi nanti kalau di rumah ini nggak ada alkohol lagi.”
“Apa karena di sini ada alkohol gratis, lu jadi nggak mau ke dunia luar?” tanya JR. Lekas aku berdiri tegak, menoleh JR yang kini sudah membuka matanya dan memandangku serius. “Pintu di bagian depan dan belakang rumah ini punya mekanisme yang sama, satu terbuka maka satunya juga akan terbuka. Waktu gue dengan Rio masuk ke rumah ini lewat belakang, pintu depan bisa dibuka Kevin dengan mudah.”
“Maksud lu apa?”
“Gue nggak buka pintu depan, ikuti maunya Ronal,” JR duduk di ujung velbed tanpa menoleh kepadaku lagi, “karena cara tahu pintu depan bisa terbuka bukan hanya dengan membuka pintunya langsung. Tapi dengan memastikan pintu belakang bisa dibuka atau nggak. Harian, gue sebetulnya juga nggak menduga pintu belakang bisa lu buka.”