Jakarta Timur, 1985.
Lapangan itu berada di belakang rumah Ronal, tanah merah lapang seukuran 20 meter persegi. Kami bertujuh sering bermain di sana. Permainan sepak bola antara tiga melawan empat anak ini terjadi begitu menyedihkan di sore hari. Seharusnya timku yang katanya diisi dua calon pemain hebat dunia yaitu Ronal dan Nordi bisa dengan mudah mengalahkan tim As. Namun pada kenyataannya kami kalah dengan skor 4-0, akibat permainan kami terlalu individualis dan ambisius.
Berbeda dengan As, Kevin, Rio, lalu JR yang hanya duduk berselonjor menjaga gawang di sana, mereka bermain dengan sangat kompak. Nordi yang menjadi kapten di tim kami hari ini, sama sekali tidak membantu tim. Sebetulnya aku dan Ronal tidak mengakui Nordi sebagai kapten, dia hanya mendapat posisi kapten karena memang hari ini adalah gilirannya—sesuai ide yang diberikan As setelah kami bertiga selalu bertengkar memperebutkan posisi kapten. “Sebaiknya hompimpa saja. Akan panjang kalau kalian menentukan kapten dengan bertengkar atau beruji tendangan penalti lagi seperti kemarin,” ucap As.
Kami bertiga mengikutinya, lantas jadilah Nordi sebagai kapten.
“Ayo main yang serius,” kata Ronal, saat kami baru saja kebobolan yang keempat kalinya. Nyatanya kami sudah main serius sejak awal, tetapi skornya malah menyedihkan untuk kami.
“Lu berdua beban,” kata Nordi.
“Nggak perlu serius main lawan kami berempat yang nggak jago ini,” kata As. “Kalian bertiga itu yang paling jago main bola di antara kita bertujuh, kok.”
“Makanya saling percaya ke teman sendiri. Aduh, sudah banyak bantuan dari tim lawan, nih,” kata JR di gawang sana, dia masih duduk santai.
Nordi tiba-tiba berlari ke Ronal, mereka saling bersalaman dan Nordi memberi semangat. Lalu Nordi berlari ke arahku. “Ayo, Har. Bobolin gawang mereka. Masa si JR cuma duduk aja dari tadi.”
Permainan kembali dimulai. Bola beralih ke kaki Ronal setelah aku mengopernya. Hanya tiga detik Ronal mengontrol bola, Nordi yang berdiri di daerah pertahanan kami langsung berteriak meminta Ronal mengoper kepadaku. Aku mencari ruang kosong, berusaha lolos dari pengawalan Kevin yang tampak kebingungan dengan gerakanku yang pintar. Ronal pun menuruti perintah Nordi untuk mengoper bola kepadaku. Aku menggiring bola. As datang menutupi ruang yang kosong dari pergerakanku ini, tetapi dengan lincah aku bisa mengelabuhinya. Rio ingin menjegalku dengan tackling yang bagus, tetapi bola sudah lebih dulu aku bagikan ke Ronal yang tanpa berdiri pengawalan.
Dan baru kali ini aku melihat JR bangun berdiri selagi aku masih berlutut di tanah. Ronal menendang sekuat tenaganya, tetapi bola datar yang memelesat itu ditahan JR dengan kakinya. Bola gagal masuk ke gawang, tetapi Nordi yang berteriak kencang, datang secepat petir lantas menyambar bola dengan kepalanya. Rasanya mustahil ketika bola sundulan Nordi itu masih bisa dihalau JR yang terbang layaknya elang menerkam ayam. Timku tidak berhasil mencetak gol, dan kami tetap kalah telak.
Aku, Nordi, dan Ronal adalah anak di antara kami bertujuh yang paling sering bermain bola, tetapi tim kami tetap saja kalah melawan tim yang ada As dan JR di dalamnya. Keduanya bagaikan kartu as dan kartu joker di kartu remi, kolaborasi antara keduanya tidak ada tandingan.
Untuk kesekian kalinya kami kalah lagi melawan tim As dan JR, walau kadang-kadang Kevin atau Rio berada di tim kami untuk membantu. Mungkin karena aku, Nordi, dan Ronal terlalu bodoh sehingga tidak bisa mengalahkan mereka. Juga selalu ada keinginan yang lebih untuk bersaing di antara kami bertiga, sehingga persaingan ini jauh lebih agresif dibanding persaingan As dan JR yang mengedepankan logika.
Pernah Ronal, Nordi, dan aku terpisah berada di tim JR atau As, barulah hasil akhirnya seimbang. Kadang kala tim As menang, dan di hari lainnya tim JR yang menang. Memang sebaiknya aku berada di tim JR atau As, karena akan lebih mudah untuk memenangkan permainan.
Permainan di sore ini benar-benar usai dengan menyedihkan untuk kami bertiga ketika Tante Devi, ibunya Ronal, memanggil anaknya pulang mandi. Kevin tertawa karena Ronal dicari ibunya kayak anak kecil, padahal kami semua nyatanya adalah anak ingusan yang baru kelas empat SD.
“Mau ke mana, Ma?”
“Sudah, ikut saja. Cepat pulang mandi,” perintah Tante Devi sembari menarik lengan Ronal.
***