Salah Rumah

Ajis Makruf
Chapter #11

Ban Kapten

Rasanya keyakinan ini sudah mantap untuk mengubah orang yang harus kuselidiki di rumah ini, dari Kevin, Vinola, atau Dian ke JR. Sehabis makan dengan penuh rasa emosi, aku pergi ke kamar. Kamarku berada di lantai dua, bersebelahan dengan perpustakaan mini dan kamar yang diinapi JR. Aku berkontemplasi lama, mengingat kembali peristiwa apa yang bisa menjadi alasan yang kognitif bagi JR untuk membunuh As ataupun mengurung kami di rumah ini.

Aku, As, Nordi, Rio, Kevin, dan Ronal pertama kali mengenal JR sewaktu masuk SD. Saat itu dia dan ayahnya juga kebetulan baru pindah rumah di lingkungan rumah kami. Lantas kedekatan kami pun kian terjalin seiringnya setiap saat bermain bersama.

Jifran Rahen sewaktu kecil lebih senang menyebut namanya dengan JR, jadilah kami teman-temannya ini memanggilnya begitu. Dia memiliki kelebihan dari kami semua, genius dan cepat mengerti semua yang ingin dia pelari. Namun rasa malas yang tinggi membuat JR kalah bersaing dengan As yang cenderung lebih ambisius dan bijak sebagai pemimpin di kelompok kami.

Ketika SD sampai SMP, setiap sore kami bermain bola bersama. Ada dua tim yang mendapatkan kaptennya secara berbeda. Satu tim di mana ada As, maka kaptennya adalah As. Jika ada aku, Ronal, dan Nordi di tim yang sama maka keputusan memilih kapten berjalan sangat panas karena kami bertiga akan bertengkar. As menenangkan kami, dan JR berusaha memberi solusi untuk mengakhiri perdebatan ini.

“Apa solusinya?” tanya Ronal ke JR.

Seketika JR duduk menyilangkan kaki di tanah ini, dia memulai sebuah ritual seperti sedang bersemadi. Kedua telapak tangannya mengepal, memangku dagunya. Kedua matanya tertutup rapat. Cara JR untuk mendapatkan ide memang aneh, tetapi lebih anehnya lagi kami semua menunggunya tanpa sedikit pun memprotes. Ah, tidak, aku ingat saat itu, As terlihat mendengkus gusar dengan apa yang dilakukan JR. Entah itu adalah sebuah bentuk tidak suka, atau memang hanya respons impulsif yang ditunjukkan As.

Tiba-tiba JR berdeham, matanya terbuka. “Tendangan penalti,” kata JR. “Siapa yang bisa buat gol ke gawang As, dia kaptennya.”

“Oke,” jawab aku, Nordi, Ronal dengan kompak.

Aku menjadi penendang pertama. Bola plastik milik Ronal ini kubawa ke lingkaran yang dibuat Rio menggunakan sebatang kayu. As berdiri di depan gawang yang dibuat pakai dua batu, lebarnya adalah dua langkah kaki terjauh Rio. Tendangan kulakukan sekencang-kencangnya, tetapi As berjibaku melompat ke arah bola lantas dia bisa menepis bola itu. Begitu juga dengan Nordi, tendangan kuatnya bisa dihalau As. Hanya Ronal sendiri yang bisa mencetak gol ke gawang yang dijaga As, sehingga Ronal pun dengan pongahnya menjadi kapten. Ide JR ini sebetulnya tidak terlalu bermutu tinggi jika kupikirkan sekarang, tetapi bagaimanapun idenya berhasil memecah keributan antara aku, Nordi, dan Ronal.

Ada sebuah tanda yang membedakan kapten dengan pemain biasa. Karet-karet gelang warna merah yang kami simpul, bentuknya memang jauh berbeda dengan ban kapten pada umumnya, tetapi benda inilah yang kami pakai untuk membedakan seorang kapten dengan pemain biasa. Dan hari ini, Ronal berhak memakai karet itu. Biasanya dia memakai karet itu di pergelangan tangan kirinya karena Ronal adalah satu-satunya orang kidal di antara kami bertujuh.

Sehabis bermain bola, Ronal berterima kasih kepada JR karena idenya secara tidak langsung berhasil membuat Ronal sebagai kapten. Ronal lantas pulang ke rumahnya lebih dulu, melewati setapak yang menghubungkan lapangan tanah merah ini ke bagian belakang rumahnya.

Ketika Ronal pulang, maka permainan berakhir karena bola yang kami pakai adalah miliknya. Kami pun berpisah ke rumah masing-masing. Rio dan Kevin sejalur. JR dan aku. As sendirian. Akan tetapi karena haus ini sudah tidak tahu diri, aku justru mengekori Ronal yang pergi ke rumahnya untuk minta minum.

“Cepetan!” panggil Ronal, setelah kuberi isyarat dari belakang rumahnya kalau aku haus dengan memegang leher sambil melet-melet.

“Makasih, Nal.”

Ronal merebut gelasnya dariku. Dia lekas masuk ke dalam rumah, karena ibunya sudah memanggil namanya.

Lihat selengkapnya