Setan itu sudah dipindahkan ke kamarnya di lantai bawah. Mungkin luka-lukanya sedang diobati JR atau Vinola. Dia kubuat berdarah-darah. Aku hanya membela diri, karena setan itu menyerangku tiba-tiba tanpa sebab yang tidak kuketahui.
“Aku nggak tahu kenapa dia menyerangku.”
Dian terus membasuh lukaku dengan kapas yang sudah ditaruh obat cair. Aku memandangi wajahnya, sepasang matanya yang indah, ketika Dian tiba-tiba berpaling melihatku. “Kenapa kamu suka minum alkohol?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Dian, sehingga aku tidak punya penjelasan yang bernas kepadanya. “Suka saja.”
Dian pun melanjutkan pengobatan ke luka-luka ini. Dia setengah berdiri, berada lebih dekat dengan pandanganku. Aku menahan napas sebisa mungkin karena khawatir napasku yang bau ini tercium oleh Dian. Pelipisku diobati dengan obat cair, bersamaan dengan mata yang diobati dengan keindahan yang bersembunyi di balik kaos merah muda. Aku bisa menikmatinya sekarang, ini terlalu dekat sehingga mudah saja untukku menggenggamnya. Sungguh, tidak ada lagi yang kupikirkan selain nafsu setan yang muncul tiba-tiba begini.
“Seperti kamu menyukaiku?”
Aku masih menyimpan pertanyaan itu, dikelilingi dengan perasaan kesetrum listrik yang berseliweran di isi kepala ini.
“Hanya… Suka saja?” lanjut Dian. Dia menjauh dari tepian tempat tidur, pergi menaruh kotak P3K ke nakas.
Tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan Dian ini. Aku masih sekuat diri menahan gejolak yang muncul tiba-tiba setelah merasakan bau harum tubuh Dian masih membekas di hidungku. Dan di mataku masih terbayang gundukan yang menerawang itu. Harum tubuhnya membekas bersamaan dengan celah yang baru saja kulihat di ujung kaos merah muda.
Aku tidak ingin bergerak, bahkan mulut ini juga tertahan. Jika sedikit saja bergerak, maka bahayanya alkohol akan menguasai diriku untuk menuntaskan gejolak yang masih bisa kutahan.
“Ada radio rusak yang kutemui di bagian samping rumah ini. Kata Vinola, kamu anak teknik yang jago benerin alat-alat elektronik. Kamu bisa benerin radio itu? Walaupun masih terjadi kekacauan, semestinya kita juga harus tahu perkembangan kejadian di luar sana. Bisa jadi itu akan menentukan waktu yang pas bagi kita untuk keluar dari rumah ini.”
Monolog Dian yang jauh dari topik gejolak yang kutahan ini, membuat keadaannya semakin membaik. Aku sudah bisa sedikit mengontrol diri. “Bisa.”
“Selamat istirahat, ya.”
“Ya.”
Ya. Hanya itu. Dian pun pergi dari kamar ini, dan aku berusaha terlelap dengan gejolak yang tidak bisa kutuntaskan.
Besoknya, aku dipertemukan dengan si radio rusak oleh Dian. Sebetulnya radio ini masih bisa dinyalakan karena baterai di dalamnya masih bisa digunakan dengan baik. Radio bisa menyala, hanya saja tidak bisa mendapatkan sinyal sehingga hanya ada suara gemeresik.
Aku pergi mengambil obeng di samping dapur dan kembali untuk memperbaiki radio ini. Setelah kubuka bagian dalamnya dan mengecek satu per satu komponen dari radio ini, ternyata yang menjadi masalah adalah kabel antenanya putus.
“Bisa?” tanya Vinola yang muncul tiba-tiba, dia sudah berdiri di samping Dian.
“Bisa cariin kabel kecil, Vinola?”
“Gue baru datang, lho, langsung disuruh.” Vinola cemberut, tetapi kubalas dengan tersenyum supaya dia tidak marah dan mau pergi mencari kabel. “Sebentar, ya. Mau minta tolong ke Kevin. Laki-laki ada di rumah ini kok malah suruh perempuan benerin radio.”
Setelah Vinola pergi, aku dan Dian juga berpindah ke ruang tengah. Menyambungkan kabel yang terputus ini membutuhkan solder dan sudah pasti colokan listrik.
“Butuh ini, kan?” JR datang dengan membawa sepotong kabel kecil dan solder, tetapi aku tidak menggubrisnya.
“Makasih, JR,” kata Dian. Dia mengambil solder dan kabel itu dan memberikannya kepadaku yang sedang berjongkok tepat di samping colokan listrik. “Nggak apa-apa.”
Radio pun terpaksa kuperbaiki dengan bantuan JR. Di saat bersamaan, Vinola datang membawa Kevin yang tidak datang dengan apa-apa. “Nah, sudah ada alat-alatnya,” kata Vinola dengan enteng.
Tidak lama, kabel antena dapat kusambungkan. Radio kunyalakan. Sinyal pun berhasil didapatkan. Radio kutaruh di atas televisi yang rusak, di ruang tengah ini, lantas kubiarkan yang lainnya masih berdiri mendengar Delta FM memutar lagu Gugur Bunga. Sudah empat hari kami terkurung di dalam rumah ini, dan rasanya di luar sana masih banyak kesedihan yang ditumpahkan.
“Sekarang siapa yang mau keluar? Kalaupun masalah ini sudah terpecahkan, kita masih belum tentu selamat,” kata Kevin di keheningan ini.
Ada benarnya juga yang dibilang Kevin. Kami memang belum bisa merasa aman ketika akan keluar dari rumah ini. Kerusuhan di setiap penjuru Jakarta masih terus menumbangkan korban. Untuk sementara, pilihan terbaiknya adalah tetap bertahan di rumah ini daripada harus menjadi korban di luar sana.