Salah Rumah

Ajis Makruf
Chapter #16

Sudut Pandang Berbeda

Kevin datang menolongku. Dia terlebih dahulu melepas kain bau ini. “JR, sialan! Taik!” Aku terengah-engah.

“Cepetan, Har. Gue mau ke Vinola dan Dian dulu. Nanti ke perpustakaan,” kata Kevin sambil melepas tali-tali sialan ini.

“Makasih, Vin.”

Lekas aku berlari mencari Ronal. Rasanya aku sudah tidur terlalu lama setelah JR sialan itu menghajar pundak ini memakai besi, semalam. Sekarang sudah pagi, sedikit sinar matahari mulai menembus kaca jendela yang tidak tertutup gorden. Ronal pasti masih tidur di kamarnya lantai bawah. Aku pergi ke sana untuk membangunkannya.

Pintu kamar kuketuk-ketuk dengan geragas. Namanya kupanggil-panggil. “Ronal! Bangun! Woy, Ronal! Bangun!” 

Wajah kuyu Ronal terpampang menjengkelkan setelah pintu ini dibukanya. Ronal menguap, dan aroma alkohol langsung menguar masuk ke hidungku. “Sialan.”

“Kenapa?”

“Ayo ke perpus.”

“Buat apa?”

“Kita sudah tahu pelakunya.”

Ronal mengerjap. Wajah mengantuknya seakan hilang begitu saja. “Ayo.” Tanpa disuruh lagi, anak ini sudah berjalan lebih dulu.

Ketika kami melewati ruang makan, sudah ada Kevin yang berdiri menunggu di anak tangga pertama. Kulihat Ronal tersenyum semringah. Aku pun sama, karena ini akan menjadi akhir dari perseteruan tentang siapa yang lebih hebat antara aku dengannya. Juga tentang pertemanan kami bertujuh, langkah-langkah menuju perpustakaan ini akan menjadi titik terang dari karangan menyedihkan di setiap kejadian yang sudah kami bertujuh lalui.

Tiba di depan perpustakaan, Ronal dengan satu entakkan tangannya membuka pintu. Hanya sedikit cahaya yang membantu penglihatan kami bekerja di perpustakaan ini. Celah-celahnya hampir tidak ada karena seluruh kaca jendela tertutup gorden, sehingga sinar matahari lebih sedikit masuk di ruangan ini dibandingkan dengan ruangan lain.

“JR,” lirih Ronal.

Pintu kembali ditutup Kevin. Aku berdiri mendekati Ronal. Kevin juga mengikuti, dia berdiri di belakang Ronal. Sementara JR ada di depan kami sedang duduk bersila di atas meja. Kedua tangannya yang dikepal menopang dagu. Aku tersenyum lebar, walaupun masih sangat kesal dengan ulah JR yang membuatku hampir mati. Namun apa yang dilakukan JR ini akhirnya bisa kulihat lagi. Cara dia bersemadi untuk mendapatkan ide mengingatkanku kembali ketika aku, Nordi, dan Ronal berseteru untuk memperebutkan posisi kapten dalam permainan sepak bola.

“Jadi siapa pelakunya?” tanya Ronal, dia menoleh ke arahku. “Har, siapa?”

“Ronal Wijaya,” kata JR. “Dialah pelakunya.”

***

Aku Jifran Rahen, panggil saja JR.

Ketika Mamak pergi meninggalkan kami, Bapak membawaku ke Ibu Kota. Tempat yang jauh dari kampung ini menjadi pilihan Bapak agar terhindar dari omongan-omongan jelek para rakyat jelata. Sebetulnya kami juga bukan hartawan atau bangsawan, tetapi aku tidak menganggap kami jelata atau rakyat biasa. Kami rakyat yang tidak biasa, memiliki nilai. Harta tidak cukup untuk memandang nilai, sementara tata krama lebih memiliki entitas dalam mengukur nilai manusia.

Lihat selengkapnya