JR adalah manusia genius yang juga gila. Bagaimana bisa dia tega memukulku pakai besi hanya karena ingin memberitahu siapa pelaku yang membantu Hendrik membunuh As. Belum lagi dia harus mengikat tubuhku menggunakan tali jerami yang seratnya dapat melukai kulit manusia. Aku memaki-maki kepadanya berulang kali pagi tadi, sebelum dia memberitahukan semua yang sudah dia dapatkan.
“Kalau gue nggak buat begini, lu pasti bakal serang gue,” katanya, beberapa menit yang lalu. “Tenang dan dengarlah. Ronal adalah pelakunya. Dia yang menyuruh Bang Hendrik menaruh racun di kopi As.” Aku terperangah. Tidak. Tidak mungkin Ronal pelakunya. JR menunjukkan kepadaku hand phone yang kutemui di kamarnya. Di tangannya juga ada baterai hand phone itu. “Gue menemukan hand phone ini di bawah velbed samping rumah, melekat di balik sisinya seperti lu temukan di balik kursi kamar gue. Ada semua bukti percakapan yang menjurus ke seluruh kejadian di rumah ini. Templat di bagian bawah dari semua pesan, dua a terbalik dan satu huruf y di tengah, ɐ ɏ ɐ, dapat diasumsikan adalah logo dari perusahaan milik Herdi Cendana.”
Sekarang, di perpustakaan ini, muka Ronal yang tertunduk itu dibarengi dengan tawanya yang mengerikan. “Apa buktinya? Apa buktinya lu nuduh gue?”
“Biarkan gue jelasin terlebih dahulu semua rencana ini berjalan dengan baik,” kata JR. Dia mengembus napas pelan. “Ada orang lain yang mengatur persediaan makanan, air yang mati, posisi barang-barang di rumah ini.”
Ronal tertawa. “Kita sudah berhari-hari terkurung di rumah ini, nggak ada orang lain lagi.”
“Dia bisa keluar masuk dari rumah ini dengan mudah. Pintu di sini dikendalikannya. Buktinya adalah sewaktu Harian mencoba membuka pintu ketika Dian mengakui sebagai pelakunya sendiri. Orang itu sengaja membuka pintunya dari jauh supaya Harian menganggap Dian pelakunya.”
“Nggak usah berbelit-belit,” kata Ronal, menatap tajam kepada JR. “Kalau lu nuduh gue, kasih buktinya sekarang.”
“Hand phone yang Harian temukan di kamar gue adalah milik lu.” JR mengeluarkan hand phone dari sakunya. “Awalnya gue dapat ini di balik velbed yang sering lu pakai di bagian samping rumah. Ketika membaca semua isi percakapan lu dengan seseorang di hand phone ini, gue hanya perlu waktu yang pas buat mengungkapkan ini semua.”
“Kenapa?” tanya Ronal lirih.
“Terlepas dari benarnya orang yang membalas percakapan di hand phone ini adalah pemilik perusahaan berlogo dua a terbalik dan satu huruf y di tengah, ɐ ɏ ɐ, Herdi Cendana, adik kandung dari Bram Cendana, atau bukan, tapi orang ini adalah ayah kandung lu. Gue yakin orang ini adalah pengusaha besar yang punya kuasa di masa Orde Baru, sehingga nggak mungkin buat kita keluar di kala rezim belum ditumbangkan. Dan sekarang adalah waktu yang tepat.” JR mengembus napas kuat. “Ah, iya, gue sangat yakin ini hanya permainan bodoh yang dipakai orang yang mengendalikan lu. Kisah keluarga Cendana sudah banyak gue baca belasan tahun ini, jelas bukan mereka yang memberi pesan di hand phone lu. Ini hanya jebakan, alasannya hanya ingin menjatuhkan keluarga Cendana oleh lawannya yang juga pengusaha besar di negeri ini. Sayangnya gue nggak tahu siapa dia. Hanya lu yang tahu, Nal. Di pengadilan nanti, lu bisa mengungkap semuanya.”