Salam Senyum Nestapa

MW saja
Chapter #1

CHAPTER 1

Malam kelam dengan hembusan angina membawa hawa dingin menyengat kedalam tulang. Sinar rembulan masuk dari balik kaca transparan dengan membawa sinar yang begitu terang. Gemericik tetesan air terdengar sedang ramai untuk terjatuh dari langit menghantam kerasnya dataran bumi.

Suara angin berhembus dan gemericik tetesan air membuatku terbangun dari tidur yang sunyi dengan kegelapan yang menemani. Nafas dalam aku hirup dari hidung sambil membuka sehelai kain yang telah menutupi sekujur tubuh melindungi dari hembusan angin yang masuk dari balik jendela kamar ku. Tatapan buram akan sekeliling membuat diriku terasa berat untuk mengangkat seluruh tubuh ini. Kegelapan yang semestinya terlihat begitu pekat saat di mimpi kini terlihat sedikit terang di temani dengan sinar rembulan malam. Walau begitu mata dan raga ini masih belum kuat menopang kuatnya harapan untuk bangun di malam ini.

Selaput kulit mulai menghimpit kembali mengibaratkan memang masih belum kuatnya raga ini menopang kebangun ku kulit kini kian rapat menutupnya hingga pandangan kabur kembali kedalam pandangan gelap. Hingga semuanya menghilang kembali dengan suara lantang yang terdengar dari balik sehelai kain. Suara keras yang membuatku kembali terbangun kaget dengan suaranya. Alarm yang begitu kencangnya membuatku terhentak,hingga seketika terbangun dalam keadaan duduk di atas ranjang. Kebisingan yang begitu mengagetkan membuat diriku kini tak sanggup untuk melanjutkan cerita kelam kegelapan dengan kesunyian itu. Alarm jam begitu kenjamnya hingga memecahkan kesunyian malam, mungkin hingga membuat seisi rumah terbangun dengan suaranya.

Diriku terbangun tegang duduk di atas ranjang sambil meraih sebuah jam di atas sebuah papan kecil di samping ranjang. Terlihat begitu samar membuat mata harus menghimpin untuk memfokuskan pandangan pada sepasang jarum yang selalu bergerak mengitari dua belas angka yang ada di dalam sana. Keheningan di kala dini hari memang tak dapat di kalahkan dengan situasi apapun yang ada di dunia. Semua begitu nyaman untuk dapat menikmati waktu yang berharga dengan di temani suara angin se-poy yang masuk melewati celah jendela dengan di ikuti beberapa suara cicak yang sedang bersahut seperti sedang bercakap.

Waktu berlalu meninggalkan sebuah ingatan yang sering terbayang dalam kepala. Menuju waktu yang tak lebih kurang hanya sebagai awal fajar. Aku tergugah dari kasur terbangun berdiri dengan meregang beberapa bagian badan untuk melepaskan ke penatan yang menerpa sekujur tubuh. Dini hari memang bukan waktu yang tepat untuk terbangun dari tidur setelah seharian menghabiskan energi untuk beraktivitas yang membuatku tertekan.

Gagang pintu berwarna perak menyala terkena sinar rembulan, tujuan awal yang mestinya aku lewati. Masuk kedalam sebuah ruangan gelap yang berbeda dengan kamar, ada beberapa lubang yang mestinya juga di sinari rembulan. Tapi malam itu berkata lain karena terdapat setumpuk daun yang mengintari lubang dengan beralaskan kaca transparan itu hingga membuatnya tertutup tak tertembus lagi. Ruangan gelap hanya bermodalkan penerangan yang merambat dari dalam kamar ku menuntun diriku menuju bagian tergelap dari ruangan. Berada di sisi paling ujung ruangan dengan di tutup sebuah tirai putih yang meme\ang kelihatan putih dengan corak motif tenunan tradisional model 80’ an. Sepasang pintu kayu yang terukirkan sebuah gambar garuda terlihat gagah di hadapan pintu ditambah dengan penyinaran yang tak terlalu terang tapi membuat mata di manjakan akan ke ajaiban pahatan manusia ini.

Aku membuka pintu dengan dua gagang itu. Hingga terbuka lebar membentang di hadapanku. Terlihat sebuah lorong yang terdapat beberapa pintu di samping kanan dan kiri terlihat di sana. Lorong yang berujung pada tempat tujuanku dini hari itu. Didalam lorong dengan bertembok kayu yang tersusun rapi itu terdapat ruangan-ruangan yang hampir beberapa bahkan tak pernah aku masuki, karena memang suatu alasan yang sangat aku yakini dari ayah.

Lihat selengkapnya