Gunung Lidjen menjulang tinggi dengan segumpal awan yang membentuk cincin mengitari gunung itu. Hawa dingin bercampur dengan sejuknya angin yang berhembus membuat suasana di pos jaga Gantasan terasa dingin dan lembut. Belum banyak orang di sana,hanya ada aku dan beberapa orang senior ku sebagai pemandu juga. Juga ada bung Rahmat yang menghampiri ku membawa dua gelas berisikan kopi hitam panas.
“nyo kopi sek,bar iki awakmu budal iku rombongan seng ate munggah sak iki.”sambil menunjuk pada segerombolan orang berpakain hangat yang baru turun dari sebuah mobil mini bus di ujung jalan.
Bung Rahmat hanya menyampaikan hal yang boleh dan tidak boleh di lakukan ketika mendaki gunung Lidjen. Yang sebenarnya aku pun sudah tau dari buku panduan yang ia berikan padaku kemarin. Perbincangan singkat itu terhenti ketika teriakan seorang Asep yang menggema memecah keheningan dingin gunung memanggil ku dengan keras.
Dalam gerombolan orang berpakaian serba hangat seorang Asep memperkenalkan diriku ke hadapan mereka. Beta terkejutnya diriku dengan semua yang ada di hadapanku. Memang awalnya aku tak tau siapa dan bagaimana kondisi merak ketika aku di tawari pekerjaan ini. Hanya seorang muda dan minim akan pengalaman ini bahkan belum pernah menampakkan kaki di atas puncak sekalipun. Mereka yang ada di hadapanku segerombolan orang berusia lanjut,sekitar usia 50 tahunan dengan sudah ada beberapa yang mulai keriput di bagian wajahnya. Mereka semua tentunya lebih tua dariku yang masih seumur jagung ini. Sedikit rasa ragu ketika melihat merak yang akan aku pandu menuju puncak sana. Merasa ragu dengan apakah mereka bisa atau malah hanya akan membuat waktu terbuang percuma dari mereka. Apa mereka semua akan mampu menghadapi sebuah rintangan yang menghadang di balik indahnya puncak gunung. Terhitung ada sekitar 5 orang yang ada di hadapanku. Jadi semua ada 7 orang yang ada di rombongan kami. Sedikit pesimis awalnya. Ketika melihat mereka hanya orang yang berusia lanjut. Bukannya para pemuda tangguh yang siap menghadapi semua kemungkinan dan rintangan yang berada di balik sebuah keindahan alam sana.
Terdiam sambil tersenyum sejenak diriku setelah melihat mereka semua,semua pria,semua juga sudah lanjut usia aku melihat pak Wiyanto yang seorang pria paling tua di antara kami usianya 62 tahun. Tentu saja aku kaget dan banyak Tanya penasaran dengan apakah ia mampu menjalani sebuah ujian demi mendapat sebuah keindahan ini. Bukan hanya pada pak Wiyanto tapi pada semua yang akan menaiki gunung Lidjen dengan jalur yang bisa di lihat curam. Walaupun diriku belum pernah menampakkan kaki di atas sana. Melihat mereka aku teringat pada sosok ayah. Yang sekiranya jika ayah masih ada pasti masih seumuran mereka. Keriput tapi tetap tegar berdiri.