Salam Senyum Nestapa

MW saja
Chapter #9

CHAPTER 9

Suatu sebab pasti akan menimbulkan akibat. Kejadian yang kita alami belum tentu akan berakhir pada diri kita. Apa yang sudah kita mulai bisa jadi kita atau keturunan kita yang akan menyelesaikan. Sama halnya dengan suatu persiapan yang kurang matang dan perhitungan yang tak karuan serta lebih menganggap memudahkan adalah jalan yang simpel untuk di tempuh dengan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan di terima. Ketika semua sudah terjadi dan tak bisa di perbaiki maka seharusnya memang harus di hadapi bagaimanapun konsekuensinya.

Perjalanan terhenti pada ujung hutan yang rimbun. Ujung hutan yang tadinya menutupi terik matahari yang menyinari. Sekarang sudah menghilang sepenuhnya tanpa ada bekas sedikitpun. Jalanan yang tadinya hanya beralaskan rumput dan tanah liat gumpal kini juga hilang. Udara sejuk dan segar ikut menghilang berganti dengan udara dingin yang menusuk ke dalam paru-paru. Suasana hutan lebat dengan bunyi burung beterbangan kini berganti dengan suara angin yang berhembus kencang membawa udara dingin dari arah puncak. Hamparan pohon yang melindungi pun berganti dengan tebing dan jurang yang siap memakan siapa saja yang lengah melewatinya. jurang dalam yang tak terlihat dasarnya itu di tumbuh banyak tanaman pakis gunung yang menjalar tinggi membuat suasana jurang makin mencekam.

Kami berhenti sejenak mengistirahatkan badan setelah seharian melewati lapisan pohon rindang yang mengoyak energi tubuh. Mengeluarkan hampir seluruh isi dari ransel yang kita bawa. Menyiapkan makan siang untuk kembali mengisi perut. Asep yang memang seorang yang gemar memasak dalam semua ceritanya mulai memasak makanan untuk kami. Beralaskan rumput yang ada di hamparan tanah dan berlindung dari rindang pohon kami mengistirahatkan kaki yang telah penat melangkah.

Percakapan dimulai kembali dengan semua orang berbicara membentuk lingkaran. Para kekek itu menyuruh ku untuk ikut bergabung bersamanya. Ikut bercerita sambil menunggu santap siang matang. Hanya mengangguk dan mengiyakan. Aku mengaku sadar diri jika memang aku hanyalah seorang pemandu yang di bayar mereka. Memandu agar perjalanan mereka berjalan dengan menyenangkan.

Kembali diriku hanyut dalam semua perbincangan itu. Serta kembali aku dapati sebuah perasaan yang melintas dalam kepalaku. Bukan ingatan tapi sebuah perasaan hangat yang dulunya pernah aku rasakan. Dengan bersama mereka aku merasakan kembali sebuah naungan seorang yang mengungkapkan berbagai keluh kesahnya pada diriku dan aku hanya diam membisu sambil memperhatikan. Sama ketika ayah dulu melakukannya. Perasaan itu kini teringat sangat lekat denganku entah bagaimana jadinya aku hingga perasaan ini tak luputnya dari ingatanku. Seorang anak yang tak pernah menyayangi orang tuanya saat mereka masih hidup dan kini hanya penyesalan yang timbul ketika mereka meninggalkan ku sendiri terdiam dan tak memiliki kasih sayang lagi.

Tak ada sepatah kata terucap dari mulutku yang kaku. Kaku ketika baru pertama kali menghadapi para pendaki yang aku pandu sendiri,ditambah usia mereka yang sudah tua membuatku canggung dengan sendirinya. Asep pun datang membawa beberapa makanan dan juga langsung memerintahkan untuk mengambilkan sisa makanan yang tak bisa ia bawa ke tempat kami.

Lihat selengkapnya