Siluet mentari bersinar dari balik belukar pohon yang tinggi. Membuat sebuah gelombang bayangan yang menyinari atap rumah. Menjadikan bayangan hitam mengecil tanpa ada batasan bergerak. Bergerombol bersama bergerak mengecil dan hingga lama pun tak terlihat kembali. Cahaya yang mau kini menjadi cahaya berani menyala dengan sang matahari telah terbang di ujung pandang timur. Atap rumah tempat candu pagi dan sore hari. Menjadikan sebuah bayangan ada dan ketiadaan yang selalu membuat rindu diriku. Mengalir menjadikan sebuah asa yang selalu ingin di nikmati. Semuanya selalu ingin teringat dan terpampang dalam kepala. Tapi kian lama kian tenggelam dalam derita luka. Tapi yang menatapi kini pun memiliki lawan oleh luka. Memiliki penantang tangguh yang memperlihartkan kenangan tak terlupakan. Bukan paksaan seperti luka dan bukan pula tanggung jawab seperti perintah. Tapi kelapangan hati menerima suguhan lestari. Menerima semuanya hanya dengan hati menerimanya hanya dengan tatapan mata dan ketulusan sahaja. Rindu itu kini kembali menjadi sebuah perisai semesta yang melindungi diriku dari penderitaan alam bawah sadar yang menerka-nerka akan sebuah kemungkinan yang mungkar. Sebuah hikmah yang tak terbendung dengan sebuah nalar yang menyeruap dalam sanubari dan hanya dengan hati yang tabah serta ikhlas dengan mengambil langkah yang lapang dalam hati.
Pagi kian menghilang, menyisakan angin yang masih membawa hawa sejuk dari pegunungan. Riuh kicau burung mulai menghilang bersama dengan terbangnya gerombolan burung kuntul berlarian karena lantunan suara keras dari senapan. Esok hari yang ringan tanpa beban bagiku. Menjadikan diriku tenang sesaat dengan semuanya. Tak ada beban kembali yang terpikirkan,hanyalah persoalan yang sebenarnya tak terlalu rumit untuk di selesaikan. Hanya masalah waktu dan sebuah ketekunan dari hati dan pikiran. Masa depan yang dulunya hanya sebuah angan,kini menjadi terang setelah menyaksikan hamparan pucuk hijau berjajar bersama dengan hewan yang di ayominya. Cukup mengayomi dan bermanfaat untuk orang lain mungkin adalah sebaiknya seorang manusia dan juga seindahnya manusia adalah mengagumi dirinya sendiri dengan pencapaian. Kemarin adalah pencapaian terbesar dan akan selalu terkenang menggantikan luka yang membekas dalam di hati. Menutup luka itu dengan sejarang pertama aku memijakkan kaki di bagian tertinggi dari sebuah hamparan tanah luas di atas langit.
Kakek sudah terbangun menyiapkan sarapan yang di masak olehku dan menyuapinya beberapa sendok bubur hangat serta susu segar yang ia inginkan sedari kami tinggalkan pemakaman. Membuat impian kecil menjadi kenyataan adalah hal terindah yang bisa aku nikmati sekarang. Melihat sedikit lekuk bibir kakek membuat diriku kian terhilangkan dari ingatan luka. Menjadikan sebuah semangat baru untuk menutupi kembali luka yang membekas. Kembali harapan bisa mengalahkan sebuah angan dan kegagalan bahkan itu nyawa adalah taruhan. Obat tertelan olehnya membuat dirinya menjadi kantuk dan terlelap dalam tidur dan mimpi-mimpi indahnya kembali. Membuat diriku tak lagi bisa bertukar omongan yang mungkin hanya diriku yang ngomel tanpa ada balasan omelan darinya.
Kecimpung diriku dalam diam kembali. Menyendiri tanpa ada orang yang menemani. Sedih dalam kesendirian juga senang dalam kesendirian. Aku menatap kembali sebuah kisah masa kelam. Walau aku berusaha meninggalkannya. Tapi aku kembali mengingat masa kelam akan sebuah kebodohan itu bukan untuk di lupakan tapi untuk di kenang dan ambil pelajaran. Kini diriku terbangun dalam ranjang tanpa kasur. Hanya beralaskan lipatan beberapa kardus. Tempatnya serasa tak asing bagiku. Tembok putih berjajar membentuk kubus dengan beberapa bagian yang telah melepuh dan terkelupas.
Bangun dari tidur ku yang mungkin amat nikmat hingga meregangkan tangan dan berselot. Terdiam sejenak mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, kembali ku ulang beberapa kali dan kembali juga ku buang hanya untuk membangkitkan jantung. Menatap tanpa sebuah kebingungan tapi serasa bukan tempat yang semestinya buatku tidur. Terpikir diriku tak pernah berada di tempat ini. Bahkan ingatan yang cukup erat denganku juga tak memberi petunjuk akan tempat seram dan tertekan bagi siapapun yang ada di sana. Serasa berada di rumah kuno yang telah di tinggalkan beberapa tahun lamanya. Menjadikan beberapa laba-laba menghinggapi setiap sudut ruangan. Angin masih tetap berhembus membawa hawa dingin khas pegunungan. Menjadikan kembali aku dengan kehidupan sebelum mereka pergi jauh tak akan kembali.
Akhir sebuah mimi terdengar suara sirene berdenting kencang dari balik jendela mengarahkan sumber bunyi pada suatu tiang bambu berwarna kuning sudah tua. Ada toa besar terikat erat menggema menyuarakan sirene. Entah tanda apa yang terdengar. Aku hanya linglung dan keanehan teras di kala aku mengingat tak pernah sekalipun dari balik jendela ku tertancap bambu tua tinggi dengan tiang besar bersama menampaki langit.
Sekilas saja hingga sirene itu kian terdengar keras, dan menggema di telinga hingga aku terbangun dengan seutuhnya. Tubuhku yang memang benar aku punya sejak aku lahir. Bukan menjadi seorang yang pernah melintas dalam pikiran ku dan menjadi mimpi yang entah bagaimana aku mendapatkan jawaban akan mimpi itu. terbangun terhentak menengadah ke atas memperhatikan langit rumah kontrakan berwarna hijau. Memperhatikan kembali jendela terbuka dan sinar siang menerpa seluruh ruangan bahkan diriku. Dalam pikir ku bertanya kan sebuah pertannyaan. Mengapa mimpi yang bahkan aku tak pernah mengalami dan mengharapkan itu bisa teringat dalam diriku. Yang bahkan aku sendiri enggan untuk memikirkan. Tapi kembali berkutik dalam Tanya apa yang sebenarnya Tanya yang di beri oleh mimpi itu. apa aku ini sebenarnya hanya seorang biasa tanpa ada beban pikiran bahkan tanggungan hidup dan akhirat.
Menarik hela nafas panjang. Terdengar dari ke jauhan suara kumandang adzan dzhuhur menggema dari balik tembok rumah yang berhimpitan. Suara yang menyejukkan hati ditambah dengan suara hati yang teringat akan sebuah keindahan alam serta keindahan perjalanan serta syukur akan sebuah kebebasan yang aku alami/
Meyra datang bersama dengan berakhirnya adzan. Membawa sebuah tas dari rotan yang di anyam rapi berbentuk tas besar yang ia bawa dengan menggunakan pundak kanan dan sebagian tenaga dari tangan. Berjalan mendekat hingga sampai di hadapanku yang terdiam terpaku setelah baru saja terbangun dan merasa ke anehan dalam diri dan pikiran ku.
“ini masakan dar ibu,tadi lumayan masak banyak buat kamu sama kakekmu” ucap Meyra sambil menyodorkan tas bambu itu padaku.
“wah apa ini,ngerepotin terus,jadi enggak enak. Tapi kayaknya Alhamdulillah dulu biar tambah enak kalo dimakan” merespon Meyra.
Bukan diriku yang membawa dan bukan pula aku yang menyalin tempat makanan itu tadi di bawa. Meyra masuk ke dalam menuju dapur menaruh beberapa barang yang Ia bawa saat itu. hari berakhir begitu saja. Dengan Meyra yang langsung pulang dan tak mengindahkan ajakan minum kopi sambil menikmati senja di kala sore hari.
Hari demi hari kembali seperti biasa. Menikmati lentera hari di pagi dan sore hari dan berlanjut untuk menyaksikan teater kolosal berbentuk titik-titik putih berkilauan. Tak ada hiburan lain yang dapat membuatku tenang dan melupakan akan kejadian mencekam yang membekas dalam ingatan. Kembali aku terkesima dengan semuanya oleh alam. Terpapar akan cinta dan kasih yang ingin rasanya aku pendam hingga dalam dan hanya ingatan indah tentang alam saja yang teringat di kepala.
Satu bulan berlalu semenjak pertama aku menampakkan kaki di puncak tertinggi dari gunung Lidjen. Selang waktu yang lama itu telah ku habiskan untuk memandu beberapa rombongan hingga yang terakhir aku telah menampaki puncak sebanyak 6 kali dalam sebulan. Sungguh sesuatu yang membosankan jika melakukan sesuatu hal dan mengulanginya hingga kali ke enam. Tapi bosan itu selalu di kalahkan oleh candu dan yang teringat selalu akan hilangnya dosa masa lalu.
Manapaki jejak perjalanan juga dengan penuh ambisi dan kembali menemukan sebuah kebuntuan lalu timbul api harapan di sertai percikan semangat yang terus meggebu dalam dada. Kembali dan kembali seperti itu. dan selalu tak terasa bosan untuk melakukannya. Banyak tawa yang terbawa oleh ingatanku dengan mendaki bersama orang yang awalnya tak aku kenal hingga bisa berkawan dekat dengan mereka. Perubahan dari diriku pun juga terasa di saat diriku mulai belajar akan sebuah rasa percaya. Bukan hanya pada diriku tapi belajar tentang bagaimana percaya pada apa yang memang harus aku percaya walau itu hal sepele sekalipun.
Kisah perjalanan mendaki puncak dan memandangi hamparan lautan awan, juga tak banyak berbeda dengan apa yang aku rasakan di sebelumnya. Dengan sedikit resah dana gelisah dan di akhiri dengan sebuah kebahagiaan dan sebuah pertemanan yang tercipta oleh alam.kagum diriku bukan hanya dengan alam yang selalu bisa membaca jalan pikiran ku dan membawa diriku terbang bebas di angkasa seperti awan yang awalnya bergemuruh beserta dengan Guntur dan berakhir dengan sebuah pelangi indah melengkung di yang terang langit terang.
Kakek dan semua kebutuhan pun juga ikut terbawa oleh imbas dari sebuah kebahagiaan hidupku. Mendapatkan gaji yang tak seberapa tapi sebuah ceperan dari para wisatawan yang aku dampingi menggapai sebuah kenyataan manis dunia menampakkan kaki di atas sana.kebutuhan dengan pengobatan kakek dan uang bulanan kontrakan,PDAM dan listrik juga itu terbawa oleh bahagia yang aku rasakan. Tak luput juga dengan Meyra yang sedari awal membantu ku menjadikan diriku lebih bisa bersikap dewasa dan mandiri serta tak bergantung pada siapa saja.