Jalan terbuka lebar menyebrangi dari sisi lain sungai. Menunjukkan bahwa apa saja bisa melewatinya. Manusia bahkan hewan liar yang berkeliaran di hutan ini. Menjadi sedikit terkejut dengan keadaan yang baru saja turun hujan tapi malah menjadikan aliran sungai terhenti dan tak sedikitpun air mengalir di kala itu. pemandangan sekitar terlihat asri dengan pepohonan yang menjulang tinggi menutupi angin yang berusaha menebus tulang kami. Menghiraukan sebuah sungai kering.
Kami kembali berjalan menembus sema belukar yang menghadang. Dagu kami terasa tehempas oleh kecilnya rumput yang menjulang sesekali membuat tangan secara tak sadar menggaruk dagu menghilangkan rasa gatal akibat gesekan. Tebasan demi tebasan mengiringi perjalanan kami. Membuka jalan yang dulunya menjadi sebuah jalur pendakian utama.
Sedikit kilas bali dari sebuah pengalaman pertama yang membuatku kembali pada sebuah keterpurukan, mengingatkan kembali akan sebuah kenangan bersama yang sekarang aku sesali. Jalan berbatu berlapis tanah yang sekarang sudah tertutup lebat membuatku teringat dengan perjalanan diriku dengan ayah. Menjadikan jalan ini banyak kenangan kebersamaan. Walupun aku dulu hanyalah seorang anak yang tak bisa di atur dan banyak marah yang terlontar darinya membuat diriku tetap tak berdaya di hadapannya.
Langkah kaki yang menginjak sebuah batu besar juga kembali mengingatkan akan sebuah tempat pembaringan mengistirahatkan punggung dan kaki yang telah sekian lama berjalan. Menyantap perbekalan berisikan roti tawar dengan baluran susu di atasnya dan beberapa teguk air dari botol minum. Seok angin juga terasa,sama seperti sekian tahun lamanya. Ingatan yang tak tak bisa membuatku sedih atau malah senang karena diriku kembali bisa mengingat jalan pendakian yang telah tertutup oleh semak belukar. Sudut lain dari perjalanan dulu ialah kembalinya sebuah kemenangan yang mestinya hanya tinggal selangkah untuk menggapainya menjadikan diriku akan mengubah pandangan pada seorang pendaki tulen seperti ayah.
Sinar matahari tepat berada di atas kepala. Menjadikan hawa panas kian menyeruap ke sulur tubuh. Walau hutan memberi perlindungan berupa ranting dan daun yang berjajar menghalangi sinar. Tapi tetap saja hawa panas datang bukan dari sinar saja. Bung Rahmat memutuskan untuk rehat sejenak. Melanjutkan pencarian setelah mengisi perut yang sedari tadi sudah meronta menyanyikan kosongnya perut. Beberapa camilan keluar dari tas menyuguhkan pada orang di rombongan ini. Kembali hanyut dalam perjalanan aku merasa lega dan juga gelisah mendengarkan sebuah pertemuan nantinya dengan siapa. Dengan nama yang tak asing bagiku untuk mendengarnya.
Setengah jalan berlalu begitu cepat waktunya kami melanjutkan pencarian. Berjalan sambil sedikit memandang sekitar. Bukan untuk memanjakan mata tapi harus membebani diri untuk sebuah tanggung jawab. Pandangan itu sering menatap ke arah jauh memohon akan sebuah adanya petunjuk keberadaan wanita yang mencurigakan.
Berjalan terus berjalan hingga tiba kami pada sebuah tebing batu tinggi yang menjulang menghadang jalan. Tepat di sana tak ada lagi jalan yang bisa di tapaki oleh kaki. Menjadikan tali tampar akan sangat berguna untuk melewatinya. Menjulang tinggi menatap kami membuat sebuah dinding batu yang besar. Bukan hanya tebing tapi jurang juga ikut mengiringi di belakang kami. Jurang itu juga memberi kengerian terhadap pandangan dan pikiran kami. Melihat jurang dalam dengan tanpa air mengalir di bawahnya. Terlihat bebatuan dalam juga terdapat di dasarnya.
Bung Rahmat menjadi pendaki pertama. Berbekal kemampuan memanjat tebing yang telah ia kuasai sepenuturannya. Dan pengalaman menjadi pemandu di kala dulu masih melewati jalur pendakian ini. Sekarang semua bualannya akan di buktikan dengan tangan dan kelihaian. Memanjat tebing yang sudah lama tak di sambangi orang. Tapi kami sedikit tak menduga dan berencana mengakhiri pencarian. Tebing tinggi menjulang ini sangatlah tak mungkin untuk di daki seorang wanita sendiri. Asep memberi pengertian untuk setidaknya mencari dia atas tepat seperti jalur pendakian. Membuat segala kemungkinan bisa terwujud menjadi sebuah harapan. Kembali kami mengumpulkan asa akan harapan di menemukan seorang gadis itu harap begitu sangat jika memang ia masih selamat.
Bung Rahmat kembali menyiapkan semuanya yang di butuhkan. Dan kembali mendekati dinding yang sesaat tadi ragu dengan semuanya. Bung Rahmat kemudian menapaki satu per satu batu yang menjulang menjadi tumpuan kaki. Memanjat meninggi sambil memasang beberapa kail pengerat untuk membantu memudahkan kami yang tak pandai berjalan vertikal.
batu kecil terhempas jatuh kebawah jurang bersama dengan sering meningginya bung Rahmat memanjat tebing. Batu yang jatuh tak tentu arah itu, mengarah langsung ke bagian lain jurang. Menandakan tak boleh adanya orang di sana sebut bung Rahmat ketika hendak mendaki tadi. Bung Rahmat menghilang dari balik batu rejeng tajam. Menandakan mungkin ia sudah sampai di tempat datar yang bisa di pijak. Maklum saja sudah sekian tahun jalur ini tak pernah di gunakan dan jalur untuk memanjat tebing juga sudah menghilang terkikis oleh waktu.
Tariakan bung Rahmat mengagetkan kami semua. Ketika sedang menelaah memandang sekitar. Bung Rahmat menyuruh untuk satu persatu memanjat tebing dan waspada pada setiap pijakan. Asep dengan sigap mengambil peralatan dan memasang beberapa tali di sekitar tubuhnya. Mengikat kuat membuat dirinya seakan terbelit oleh tali tampar itu. Langkah awal Asep tampak begitu meyakinkan dengan menggapai beberapa batu yang menjulang keluar menjadi sebuah tumpuan tangan dan menempatkan kaki kirinya pada ujung batu paling jauh yang bisa ia raih. Nampak keyakinan menaklukkan tebing itu terlihat dari matanya yang bersemangat dan tak sedikitpun memancarkan kecemasan yang ia alam. Sampai di tengah perjalanan tempat bung Rahmat menjatuhkan beberapa kerikil yang hampir menghantam kami tadi. Asep juga tak luput dari kejadian itu. seperti sebuah keharusan untuk menjatuhkan kerikil dari bagian yang terlihat datar tersebut. Kali ini Asep menjatuhkan beberapa kerikil kecil ke bagian bawah sama seperti bung Rahmat. tapi dalam jumlah yang sedikit. Hingga perjuangan Asep sampai ke sebuah bagian yang tak Nampak terlihat dari bawah. Membuat tubuhnya lenyap termakan oleh bebatuan tajam yang menghadang.