Siang melalap seluruh permukaan berbatu bekas aliran sungai. Menjadi terik yang menyengat walau tak begitu gerah rasanya. hembusan angin masih setia menghantam punggung kami dan meninggalkan tanpa jejak pasti. Berjalan menyusuri bekas aliran sungai,sebuah setapak yang nampaknya telah lama berada di sana, membuat perjalanan yang ringan tanpa harus menebas semak belukar. Berjalan menuju sebuah pedesaan dengan harapan ada pertolongan buat kami.
Semalaman menunggu menanti pertolongan hingga siang menyengat badan. Perbekalan telah habis dengan Mawar yang ternyata wanita yang di cari selama ini. Ia tersesat tak tau arah mana yang harus di tempuh setelah di hadapkan dengan tebing batu besar di yang tadinya ingin ku tak lukukan tapi terjatuh dan tersungkur kesakitan dengan memar di kaki. Ia berbalik arah mencoba mencari jalan lain dengan tujuan puncak gunung yang indah. Peta yang bukan menjadi patokan sekarang menjadikan semua medan yang ia lalu berbeda dengan apa yang ia pikirkan dan tersesat hingga menemukan sebuah aliran sungai yang tak terdapat airnya.
Khawatir dengan suara perut yang terus menerus berbunyi, kami memutuskan untuk beranjak pergi dan berharap rombongan bung Rahmat bisa tau dengan sebuah tulisan yang kami tinggalkan di perapian. Berbekal peta yang aku bawa sewaktu mencari Mawar, gadis nekad yang tak menghiraukan keselamatannya sendiri. Benar-benar gadis gila ini orang. Aku dan mawar memutuskan menuju desa terdekat dengan mencari sebuah pertolongan dan setidaknya makanan ringan.
Jalan setapak tanah telah kami lalui beberapa kilometer jauhnya. Kakiku sesekali memberikan peringatan jikalau sedang kesakitan menahan tubuhku yang berat sebelah. Tongkat kayu dengan sedikit pegangan di balut kain dari Mawar menjadi pembantu untuk berjalan. Setidaknya tuhan memberi ku sebuah kemudahan di tengah kesulitan berjalan. Jalan landai dengan sedikit menanjak dan menurun tak terlalu banyak membuatku menguras energi. Mawar berjalan perlahan di belakang sambil membawa tas besar dengan beberapa alat penting yang juga aku bawa ketika aku terjatuh. Tas milikku ditinggalkan di tempat pembaringan semalam. Memberi tanda dan sekaligus petunjuk arah mana yang kami ambil untuk bung Rahmat.
Beberapa genting terlihat dari kejauhan menjulang memalingkan pandangan kami dari jalan tertuju sebuah harapan baru yang kian dekat. Desa Pakisaji,seperti yang tertulis di dalam peta. Menjadikan suatu pertolongan yang berarti buatku dan mawar.
Jalanan desa membentang luas selepas selonggar jalan setapak yang kami lewati. Jalan berbatu tersusun,tak rapi tapi setidaknya memiliki pijakan yang kuat. Gerombolan orang berkumpul,seperti sedang merayakan sesuatu. Sebuah pesta di tengah lapangan yang terik dengan beberapa pemuda bermain sebuah mainan gasing dari kayu. Mereka memutari orang yang bermain menjadikan sebuah tontonan yang seakan sudah membuat mereka bahagia dengan sebuah pertunjukan kayu yang berputar.