Pagi telah datang motor vespa modifikasi telah panas dan siap ditunggangi di depan lapangan. Asep duduk di suatu pondok di depan camp. Menikmati secangkir kopi panas yang masih mengeluarkan asap di atasnya. Berusaha bangun dari kursi sofa di dalam camp. Mengambil tongkat yang membantu diriku berjalan.
Semalam berlalu begitu cepat. Mawar telah meninggalkan tempat ini. Sungguh pertemuan yang begitu singkat setelah sekian lama berpisah oleh ruang dan waktu. Bahkan syal merah menyala yang ia kenakan waktu diriku kedinginan di tebing pun lupa ia bawa padahal katanya syal ini peninggalan temannya tak mungkin ia lupakan. Tapi ego membuat dia lupa juga. Dasar wanita mistis.
Beberapa luka masih tampak belum mengering. Asep telah menunggu di hadapan. Menantikan diriku yang masih belum bertemu dengan sang keluarga terakhir dalam hidup yang penuh kenestapaan ini. Kembali teringat dengan kenangan yang belum pernah terlintas dalam pikiran. Tentang sebuah pengorbanan yang di lakukan pada diriku yang masih belum mengetahui apa maksud dari hidupku sendiri.
Waktu kian berlalu ketika motor telah melibas jalanan yang terdiam sunyi. Beberapa aspal terlihat berlubang dengan genangan air keruh berwarna coklat. Sebuah luka yang nampaknya belum bisa di obati hingga memberi sebuah ruang untuk luka lain menghinggapinya. Sama seperti hatiku di saat ini,memandang luka yang begitu dalam dan coba ku tutup,namun luka lain selalu bermunculan seiring dengan mulai jatuhnya percaya diri.
Mawar bukanlah hal yang mestinya bisa aku lupakan akan semua yang telah aku perbuat di masa sekolah dulu. Kekaguman diriku yang mungkin tak ia ketahui menjadikan sebuah ingatan yang spesial dalam otak dan hati. Namun,kini bukan lah sebuah ingatan indah yang akan menjadi pertama dalam diriku. Sebuah peristiwa yang tak mungkin aku lupakan masih menyelimuti topik utama dalam pikiran ku. Belum lagi masalah yang mestinya tak pernah ada dalam pikiran ku. Sebuah penyesalan yang mestinya telah terbuang jauh dalam diriku yang memiliki ego yang kuat.
Pertemuan ku dengan Mawar seakan menjadi sebuah jembatan penghubung dunia yang mestinya aku tinggalkan dengan keadaan sekarang yang penuh penyesalan dalam diriku. Penghubung pada ingatan masa lalu dan juga menyambung kembali asa yang mestinya aku menghinggap untuk ku gapai dengan tanganku. Walau ayah dan ibu masih belum bisa berjalan bersama dalam sebuah harapan baru. Setidaknya mereka akan lega dengan apa yang akan gapai di masa mendatang.
Gapura desa sudah terlihat dari kejauhan, perjalanan jauh dan menyiksa akal serta mental akan berakhir setelah ini. Beberapa rumah terlihat sepi tanpa penghuni. Beberapa lainnya juga sepi tapi dengan pintu rumah yang terbuka. Tanaman pinggir jalan menghiasi seluruh pemukiman rumah. Warna warni bunga yang berbeda juga ikut membuat hari ini seakan sudah berakhir semua penantian. Walau sakit akan sebuah kenangan masih terasa. Setidaknya sebuah perjalanan hidup dan mati telah usai.
Rasa cemas menghantui perjalanan,dengan keadaan kakek yang aku tinggalkan beberapa hari tanpa kabar dariku. Aku merasa cemas wajah terasa pucat,hati bergejolak menandakan mungkin sedang terjadi sebuah kegelisahan yang menyerebak diriku. Kakek tak mungkin bisa lepas dari pandanganku saat ini. Dengan kondisi yang masih belum bisa di katakan baik-baik.
“sudahlah kan ada Meyra yang merawat kakekmu.” Ucap Asep yang sepertinya sedang melihat muka pucat ku yang menanti rumah untuk bertemu dengan kakek. Jalanan desa masih sepi seperti tak biasa desa seperti ini. Riuh risau ku masih terasa ketika tinggal satu tikungan lagi saat kontrakan ku bisa terlihat. Dan setidaknya aku bisa memeluk kakek setelah perpisahan beberapa hari yang melelahkan.