Aku berjalan di sepanjang jalan dengan pemandangan sawah terbentang luas di sisi kanan dan kiriku. Angin semilir menemaniku melangkah, sementara mentari tersenyum cerah menyambut hari.
Para petani mulai berdatangan dengan membawa bekal masakan sang istri, wajah bahagia mereka menghangatkan hati.
Anak-anak berlarian ceria menuju sekolah. Walau letaknya cukup jauh dari rumah, mereka tetap bersemangat. Meski harus mendaki bukit atau mengarungi sungai, semangat itu tak pernah pudar.
Inilah suasana yang selalu kurindukan, hangat, ramah, dan penuh keceriaan. Itulah sebabnya aku sering pulang ke rumah nenek.
Berbeda sekali dengan kota. Di desa, udara masih bersih dan menyehatkan, bukan dipenuhi polusi yang menyesakkan dada. Minggu ini, kuliahku libur empat hari karena minggu lalu ada beberapa mata kuliah yang rangkap jam.
Kesempatan ini kupakai untuk pulang ke rumah nenek, kebetulan kampusku lebih dekat ke sana daripada ke rumah orang tuaku.
Aku melihat nenek sedang duduk di pelataran rumah dengan rajutan di tangannya. Nenek memang sangat pandai merajut. Sejak kecil, aku sudah pernah dibuatkan sweter, tas, dompet, bahkan bandana olehnya.
Online shop yang kujalani pun tak lepas dari keterampilan nenek. Setiap kali nenek menyelesaikan rajutannya, barang-barang itu langsung dikirimkan kepadaku untuk dijual.
“Assalamu’alaikum,” sapaku sambil melangkah mendekat dan mencium tangannya.
“Wa’alaikumussalam, oalah Mamin. Sini neng, simpen dulu tasmu di kamar!” titah nenek.
Aku masuk untuk menaruh tas di kamar yang memang selalu disediakan jika sewaktu-waktu aku pulang. Nenek memanggilku.
“Mamin” karena sejak kecil aku tidak bisa mengucapkan namaku sendiri, Yasmin. Aku menyebut diriku Mamin, dan sampai sekarang nenek masih memanggilku begitu.