Salamku Untuk Waktu

Intan Nur Syaefullah
Chapter #1

Kenal Dengan Niken

Aku berjalan disepanjang jalan dengan pemandangan sawah terbentang luas disisi kanan dan kiriku. Angin semilir menemaniku berjalan, mentari tersenyum cerah menyambut hari. Para petani mulai berdatangan untuk bekerja dengan membawa bekal masakan sang istri, dengan wajah yang bahagia menghangatkan hati.

Anak – anak berlarian ceria bersama menuju sekolah, walau sekolah letaknya agak jauh dari rumah mereka, tetapi mereka tetap semangat. Meski harus mendaki gunung atau mengarungi sungai, tak membuat mereka pantang menyerah. Inilah suasana yang selalu aku rindukan, hangat, ramah dan ceria. Itulah sebabnya aku sering pulang ke rumah nenekku.

Berbanding terbalik dengan di kota, di desa kita masih bisa menghirup udara yang bersih dan menyehatkan. Bukan udara yang penuh polusi dan menyesakan. Minggu ini kuliahku libur empat hari karena minggu kemarin sempat ada beberapa mata kuliah yang rangkap jam.

Aku menyempatkan pulang ke rumah nenekku di desa, karena kebetulan kampusku lebih dekat dengan rumah nenekku daripada rumah orang tuaku. Aku melihat nenek sedang duduk di pelataran rumah dengan rajutan di tangannya.

Memang, nenekku sangat pandai merajut. Aku saja sudah pernah dibuatkan sweter, tas, dompet serta bandana sejak kecil. Bahkan aku punya online shop itu karena nenekku sangat pandai merajut, sehingga hasil rajutan nenekku selalu dikirimkan kepadaku untuk dijual.

“Assalamualaikum.” Sapaku pada nenek, aku melangkah mendekat ke arahnya dan mencium tangannya.

“Wa’alaikumussalam, oalah mamin. Sini neng, simpen dulu tasnya dikamar!” titah nenekku.

Aku masuk kedalam untuk menaruh tasku di kamar yang memang sudah disediakan untukku jika sewaktu – waktu aku pulang. Nenekku memang memanggilku dengan sebutan “Mamin”. Itu adalah nama kecilku, sejarah nama itu karena dulu sewaktu kecil aku tidak bisa mengucapkan nama Yasmin. Dan aku memanggil diriku sendiri dengan sebutan Mamin, dan sampai sekarang nenekku masih memanggilku dengan sebutan itu.

Aku kembali ke pelataran rumah untuk membantu nenekku merajut, tetapi kelihatannya nenekku sudah selesai dengan rajutannya. Ia tampak sedang membereskan peralatannya ke dalam satu kotak.

“Yah, nenek kok sudah selesai? Padahal Mamin mau bantuin.” Ucapku.

“Mau bantuin atau ngerecokin?” Tanya nenekku sembari tertawa kecil.

“Bantuinlah.” Jawabku, sambil mengambil kotak tempat rajutan di tangan nenekku untuk di bawa ke dalam rumah.

Aku tertawa dengan pertanyaan nenekku itu, memang nenekku sangat tahu perihal aku tak pernah bisa merajut. Aku jadi teringat dulu saat pertama kali aku ingin membantu nenekku merajut, aku malah menghancurkan hasil rajutan nenekku yang sudah dimulainya.

Saat itu aku sangat takut dimarahi oleh nenekku, tapi nenekku malah tertawa dan terus mengajariku merajut. Tapi ya memang tidak ada bakat, sampai sekarang aku tidak sepandai nenekku merajut. Merajut bisa, tetapi masih sangat berantakan, so, aku mungkin harus lebih banyak berlatih pada nenekku.

“Mamin, sini neng keluar!” Terdengar suara nenekku dari luar. Aku segera menemuinya di pelataran.

“Iya nek, ada apa?” kataku, dan duduk disebelahnya.

“Ini buat kamu, jaga baik – bak ya.” Ucap nenekku. Ia memberikan sebuah syal berwarna merah muda bermotif bunga – bunga kecil berwarna abu – abu. Syal itu yang tadi saja di rajut oleh nenekku. Segera aku menerima syal yang sangat cantik itu buatan nenek tercinta.

“Wahh... cantiknya, terima kasih nek.” Jawabku takjub.

Aku langsung mencoba syal itu di leherku yang tertutupi oleh kerudung. Syal itu nampak serasi dengan warna pakaian yang aku kenakan. Aku segera memeluk nenekku dan mencium pipinya dengan penuh kasih sayang.

Sepulang dari rumah nenek, sebelum ke kosan aku mampir ke suatu tempat. Hari itu aku hendak menemui temanku untuk mengantarkan sweter rajut yang ia pesan dari online shopku.

Ketika aku sedang berjalan menyusuri trotoar, aku berpapasan dengan sekelompok anak punk yang membuatku sedikit risih melihatnya. Dengan pakaian yang sedikit kotor, celana robek-robek, rambut diberi macam warna dan banyak tindik ditelinga, hidung, bahkan ada yang dilidah. Mereka berjalan dengan sesekali bersenda gurau bersama.

Tetapi diantara mereka ada yang sangat menarik perhatianku, dia adalah satu-satunya perempuan yang ada dikelompok itu. Dan dia juga penampilannya paling beda dari yang lainnya. Meski dilihat sekilas mereka sama saja, tetapi jika diperhatikan secara teliti bahwa perempuan itu berbeda.

Dia cenderung lebih bersih dan seperti yang sangat terawat. Namun saat itu aku berfikir bahwa karena dia perempuan, jadi wajar saja jika tampak lebih bersih dan terawat. Karena memang sudah kodratnya perempuan itu suka merawat diri.

Maka kulanjutkan perjalananku menuju rumah temanku. Setelah lima belas menit berjalan, akhirnya kutemukan rumah temanku. Aku berdiri di depan rumahnya, dan mengirimkan pesan untuk memberinya kabar bahwa aku berada di depan rumahnya.

“Rin, aku udah di depan rumahmu nihh”. Aku klik tombol send pada touchscreen di hpku. Lima menit kemudian barulah ia membalas.

“Oiya, sebentar yaa.” Balasnya. Tak lama kemudian kulihat pintu rumah Arin terbuka dan keluarlah sosok perempuan yang sebaya denganku.

“Ya ampun, sorry ya Min. Lama ya? pasti panas nunggu diluar. Ayo masuk ke dalam.” Kata Arin sambil menyalamiku. Demi kesopanan aku ikut masuk ke dalam rumah Arin.

“Gak kok santai aja, oh iya, ini pesananmu. Coba dilihat dulu, jadi kalau ada apa – apa langsung bisa komplain.” Kataku, sambil memberikan bingkisan yang telah terbungkus kertas kado kepada Arin.

“Ya Allah, kayanya aku pelanggan istimewa yaa sampe dianterin langsung ke rumah. Gak lewat pos aja, dibungkus pula.” Jawab Arin dan meletakannya di meja. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

“Duduk dulu Min, aku mau ambil minum dulu.” Katanya lagi, dan ia meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Aku melihat rumahnya yang minimalis tapi elegan itu dengan tatapan takjub.

Interior yang sederhana, tapi terkesan mewah itu sangat memanjakan mata. Di tambah dengan lukisan yang langsung terlihat saat pertama kali masuk ke dalam rumah. Seakan menunjukan bahwa orang rumah sangat mengerti seni.

Sekarang baru aku mengerti mengapa Arin mengambil jurusan design interior. Inilah jawabannya, interior rumahnya sangat menarik. Karena rasa takjubku pada interior rumah Arin, sampai aku tak sadar Arin sudah berada dihadapanku membawakan minum.

“Yasmin, ini silahkan diminum dulu teh nya.” Arin mempersilahkan.

“Terima kasih.” Jawabku, dan meminumnya.

“Jadi ceritanya kamu ini mau kemana atau habis dari mana?" Tanya Arin. Ia membuka bungkusan sweter yang tadi aku bawa. Ia merabanya, melihat rajutannya, bahkan sampai mencobanya.

“Baru pulang dari rumah nenek, sekalian ambil pesanan rajutan.” Jawabku seadanya.

“Aku suka sweternya, btw kamu ngambil dimana emang rajutannya?” tanyanya lagi, sambil melepaskan sweter yang dicobanya lalu melipatnya. Belum sempat aku menjawab ia telah berbicara lagi.

“Oh, iya. Sorry, rahasia pasar ya? It’s okay, but aku suka.” Lanjutnya.

“Gak papa kali, aku ngambil barangnya di rumah nenekku. Kan nenekku yang rajut.” Jawabku cepat.

“Oalah... jadi semua pesanan nenekmu yang rajut? Hebat yaa, emang gak cape apa nenekmu? Online shop kamu itukan laku keras?”

“Rata – rata nenekku yang bikin, aku juga sempet takut nenekku kecapean. Tapi kata nenekku kalau sehari aja dia gak ngerajut berasa ada yang kurang gitu dihidupnya. Aku juga heran, kenapa bisa begitu yaa.” Ucapku menjelaskan.

“Owh... emang udah hobinya kali Min”. Timpal Arin.

Lihat selengkapnya