Ini tas rajut pesanan kamu.” Aku menyerahkan tas rajut yang terbungkus oleh kertas kado itu kepada Shinta.
“Baru aku mau tanyain, eh udah dikasih duluan. Thanks ya Min.” Kini perhatian Shinta berpindah ke barang yang aku bawa.
“Aduh Min, kok repot – repot banget sihh pake di bungkus segala. Sayang tahu, nantinya dibuka juga. Lagian kaya sama siapa aja sih kamu Min.”
“Gak apa – apa, toh, aku udah gak harus ngirim lewat kurir. Bisa kasih langsung ke orangnya. Gak perlu repot untuk keluar juga. Justru kalau teman yang order harus maksimal dong sampe bungkusnya juga, kan istimewa.”
“Btw, kamu udah mengirim email ke Bu Sri belum Min?” Tanya Shinta kemudian.
“Oh, tugas minggu kemarin itu yaa? Belum Shin, aku lupa.” Jawabku tersenyum.
“Ini nihh, kebiasaan. Pikun kamu udah akut banget ya Min? cepet kirim tugasnya sekarang juga, tahu sendirikan Bu Sri gimana orangnya?” Kata Shinta, ia menghela nafasnya.
“Namanya juga manusia, tempatnya lupa Shin." Aku berusaha membela diri.
“Ya tapi kamu itu yaa, pikunnya parah banget. Yasminku sayang, inget gak waktu minggu lalu kamu nyari – nyari bolpoin kamu sampai rusuh banget gitu. Tahunya kamu selipin dikerudung kamu sendiri." Ucap Shinta mengingatkanku.
Memang benar, saat itu mata kuliahnya bu Sri yang super duper jutek sejagat raya. Karena lelah, kebiasaanku adalah menaruh barang di sembarang tempat. Akhirnya aku selipkan bolpoinku ditelinga yang tertutupi oleh kerudung yang aku kenakan.
Tak lama kemudian, bu Sri masuk kelas dan langsung mengatakan bahwa sekarang ada kuis, tutup buku kalian semua! Siapa yang gak rusuh coba kaya gitu.
Makannya, bagi kalian siapa saja. Mau yang masih sekolah atau yang sudah kuliah. Dimohon dengan sangat sebelum masuk kelas, diharapkan dengan amat sangat mereview materi pertemuan sebelumnya, jadi jika ada kuis dadakan tidak membuat keributan seperti yang aku lakukan.
Yang membuat rasa kesalku bertambah adalah diantara semua teman – temanku yang mengambil kelas yang ada disana, tidak memberitahu bahwa bolpoinku sebenarnya aku selipkan dikerudungku. Dan tidak ada yang bersedia meminjamkanku bolpoin hari itu.
Aku juga menyesal tidak membawa kotak pensilku. Jadi bolpoin itu adalah satu – satunya yang aku bawa pada hari itu, yang aku selipkan ditas kecilku untuk berjaga – jaga jka sewaktu – waktu dibutuhkan.
Beruntungnya aku, diberitahu Dhaffa dimana keberadaan bolpoinku. Jadi aku selamat dari omelannya bu Sri yang juteknya minta ampun.
“Kamu juga, waktu itu jahat banget lagi sama aku. Udah tahu aku gampang lupa, gak kasih tahu aku pula.” Keluhku mengingat kejadian minggu lalu.
“Kalau aku kasih tahu kamu, nanti gak seru donk. Gak ada yang bikin keributan di kelas bu Sri, hehehe. Aku sebel juga sama si Dhaffa, ngapain ngasih tahu kamu segala.” Ucap Shinta.
“Si Dhaffa mah baik sama aku, emang kamu, jahat.” Aku memeletkan lidah ke arah Shinta.
“Ya jelaslah si Dhaffa baik sama kamu Min, satu kampus juga udah tahu kalau Dhaffa itu suka sama kamu. Itu udah jadi rahasia umum kali, kamunya aja yang gak peka atau emang pura – pura gak tau sihh?” Shinta nampak gemas padaku. Tatapannya seperti harimau sedang mengincar mangsanya.
“Ya udah biasa aja kali matanya, takut tahu aku jadinya.”
Aku memasang muka melas, Shinta nampak memutar bola matanya, melihat wajahku yang pura – pura memelas namun sok imut itu.
“Pantes Dhaffa suka, hehehe.” Ceplos Shinta.
Mendengar hal itu, raut wajahku berubah seketika. Aku langsung bad mood, Shinta yang menyadari perubahan moodku langsung membujukku untuk minta maaf.
Ketika moodku mulai membaik, tiba – tiba Shinta berkata yang membuatku bad mood lagi.
“Tapi kenapa sih Min, kamu gak suka Dhaffa? Secara dia itu Prince Charmingnya angkatan kita, kakak tingkat kita aja banyak yang naksir dia. Eh tapi kamu yang di taksirnya malah menghindar gitu sih? Aneh gue?” Ucapnya heran.
“Nah, itu masalahnya Shin. Justru karena kakak tingkat banyak yang naksir, aku menghindar. Dari pada aku dikeroyok sama mereka. Mending aku cari aman.” Jawabku asal.
“Berarti sebenernya lu suka sama Dhaffa?” Tanya Shinta. Aku memutar bola mataku.