Watu pecak merupakan kawasan flufial dengan barisan gumuk berpasir yang terdapat di sepanjang kawasan pantai. Ia berada pada titik S=08°17”8,3’ dan E=113°8”58,1’ dengan azimuth 7° dan beck azimuth 187°. Kondisi lingkungan pesisir Samudera Hindia yang berangin kencang menjadi kendaraan partikel-partikel dalam butiran pasir besi selama bersafari menuju wilayah kering, mengendap dan menetap di atas permukaan tanah lalu membentuk diri sebagai bukit-bukit kecil yang berbaris rapat dan kokoh. Pembatas alamiah antara laut selatan dan sejarah panjang mitologinya dengan daratan selatan kepulauan Jawa.
Dari areal pantai yang sepanjang hari diterpa ombak besar khas perairan selatan, tepat di balik barisan bukit pasir terdapat aliran air sungai yang disebut Pancer. Sumber airnya berasal dari gunung Semeru, yang secara intensif terus mengalir meski di musim kemarau yg kerontang, mengairi sawah sawah yang ada di dekat pantai. Keberadaan barisan gumuk pasir selain menghalangi tercampurnya air tawar dan air asin laut sebagai syarat bercocok tanam, ia juga menjadi semacam benteng bagi desa-desa pesisir yang kapan saja bisa terancam oleh terjangan tsunami, badai laut, dan banjir rob.
Terlepas dari kisah-kisah bencana alam yang menghantui kawasan pesisir selatan, terdapat sebuah zona timbul yang disebut tanah oloran, mulanya hanya berupa tanah rawa tanpa manfaat. Barulah pada dekade enampuluhan, Pak Si, seorang petani dari desa Selok Awar-awar mulai membuka lahan bersama warga desa yang tinggal di dekat bunker peninggalan Jepang, yang berjarak hanya selemparan batu dari pantai Watu Pecak. Pada tahun 1984, Pak Si dan seorang anak muda bernama Salim, menggarap sebagian tanah rawa di kawasan pesisir selatan yang tak bertuan itu menjadi lahan pertanian.