Tidak pernah hidup dalam waktu
Dongeng tentang daun gugur
Duduklah selalu kau di bawah
Pada yang membasahimu
Dengan warna layu
Jangan lupa kau kunci
Ruang kampus itu
Rawa-rawa pertemuan kita
Kuanggap laut
Kau rasa serut
Air menyerutinya bak rumput
Ikan paus bukan ikan
Jelas dosen di suatu pagi
Barangkali kita percaya
Ikan paus memang bukan ikan
Kedua orang yang sedang berbincang ini tidak akan pernah melupakan satu sama lain. Bukan tentang cinta. Tapi tentang mereka dan ada masa-masa yang tak bisa mereka enyahkan. Walau segalanya sudah berubah kecuali pendaman rasa si perempuan ke teman sejawatnya yang selalu agak sengak, Salindri memikirkannya dan dalam hatinya tertawa. “Kamu menikah, Ad?” Setelah sekian lama bertemu lagi bukan tentang mengapa mereka tak kunjung berpiknik berdua ke kuil hutan Ta Prohm yang menurut Rhanu selaku yang lebih lama hijrah ke mari maka paling bagus dimasuki lewat sisi timur melalui gapura setengah runtuh yang memajang patung-patung Buddha yang sudah rusak, atau kapan mereka akan memburu matahari terbit di Water Chen La di dekat Ta Keo. Tapi justru ini juga yang ditanyakan laki-laki itu pada si perempuan teman kuliah, status perempuan itu.
“Salindri lho, Rhan! Panggil Sal saja. Berapa kali mesti kuingatkan?”
“Namamu Ariadna Salindri. Di kampus sudah familier panggilan Adna, ya kan?”
“Perkuliahan sudah habis, Rhan. Oh, belum kawin kok aku. Tadi kamu tanya kan?”
Laki-lakinya agak tertegun, umurnya sekarang 31 dan sudah pernah menikah. Setahunya Salindri sama umurnya dengan dia malah kalau tak salah lebih tua beberapa bulan dan dia belum pernah menikah seusia ini. Namun ia pun berpikir kebalikan dari ketertegunannya. “Ya tak mesti cepat-cepat juga. Nah aku yang keterima kerja gak lama sesudah lulus, dua tahun kemudian lekas-lekas mengawini Larasita, tiga tahun dalam perkawinan itu, tahun lalu malah bubar.” Dalam perbincangan ini dirinyalah yang pantas ia kasihani, tegasnya ke diri sendiri.
“Jadi sekarang njomblo?” Salindri menarik pertanyaan dengan tampang lempengnya.
“Njomblo selow.”
“Cah tengil!”
“Masih nyisa Jawanya, rupanya.”
Usai dijawab Salindri pendapat kawannya dengan, Kadang-kadang ya nimbul, “Kenapa cerai, Rhan? Dulu kulihat kamu cinta sekali sama primadona Fakultas Pertanian itu.” maka setelah lama bertemu lagi pun ujung-ujungnya ini juga yang Salindri tanyakan ke Rhanu.
“Ya itulah, kita ini bergerak maju. Maju mencapai peningkatan, maju juga mencapai kemerosotan.” Dibuatnya raut muka Salindri menggambarkan bagaimana perempuan itu tak paham pada maksudnya. “Ya kan aku kerja sudah, nikah sudah, mapan ya mendekati. Makin jauh melangkah malah...”
“Ambyar?”
Angguk Rhanu. “Sudah cek, Sal, mandul aku. Selama-lama-lama-lamanya tak bisa kasih dia anak.”
“Gila kau, Sponge! Masalah seprivat ini kau cerita ke aku?” Dengan membelo ditatapnya Rhanu yang berkemeja biru langit yang disingsingkan lengan bajunya sampai siku dan memperlihatkan urat-urat lengan bawahnya yang kokoh, menonjol seperti akar-akar pohon tetapi membiru dibalik kulit putih yang nampak tipis. Masih paling suka dia pilihan teman kuliahnya itu jatuh ke kemeja, masih kepincut nalurinya dengan bahu lebar milik si rambut gelombang.
“Kau kawanku. Ceritaku bisa santai.”
“Siapa yang minta pisah duluan?”
Korban dalam perkawinan ini pastinya. Rhanu sadar seratus persen. Mantan istrinya merasa tertipu keluarga mantan istrinya paling merasa tertipu, salah pilih suami keliru ambil mantu. Hidup tanpa anak kandung di tengah-tengah tuntutan keluarganya yang memegang prinsip saklek dari setiap perkawinan ya harus ada hasilnya ya keturunan, darah daging. Mana sanggup wanita itu menahankannya. Sesekali Rhanu kepikiran, andai waktu dulu yang dicintainya justru Salindri, apa temannya itu nantinya menyerah juga dengan lelaki yang ketahuan tak bisa punya keturunan hanya dalam kurun tiga tahun perkawinan.
“Padahal kalau aku, aku gak akan minta cerai darimu lho, Rhan.” Tukas Salindri.
Eh, kau sadar Kamboja sehangat ini? Setiba-tiba gledek di jantung Rhanu yang menyerap pernyataan terakhir temannya, obrolan itu beralih perkara. “Beruntungnya oleh Bu Shanti kamu direkomendasi ke sini. Sebelum berangkat salah seorang kenalan yang bantu aku sampai ke sini pernah bilang, “Sering-seringlah memandang lurus ke arah kolam halaman depan Kuil Angkor Wat, perhatikan teratainya berbunga putih atau merah muda.”
Waktu kelopak menunjukkan warna putih jenis kelamin betina, mekar malam hari waktunya menebar bau wangi, terbuka bagi kumbang membantu penyebaran serbuk sari. Begitu yang Rhanu pahami.
“Kamu itu masih yang terbaik dalam tumbuhan air lho, Rhan.” Salindri memuji dalam sedikit nada menyayangkan.
“Tapi yang sekarang kutangani malah komoditi perikanan darat. Milik industri ekspor negara orang.”
Rhanu mulai mengutarakan kalau isi pikirannya tengah kembali pada perjalanan mereka sebelum berhenti di tempat sekarang ini, yaitu saat keduanya meninggalkan Phnom Penh untuk mengarungi Tonle Sap dengan perahu cepat yang banyak disewakan di sekitaran perairan tersebut, melewati komunitas nelayan danau. Teringat pula dia dengan orang upahannya dulu yang seorang penjaring ikan, sewaktu mengumpulkan sampel bunga lotus di masa-masa penelitian skripsi.