Kalau-kalau Kita Gila Suatu Kelak

Niskala A.
Chapter #2

2

Manusia dengan tabiat sepertimu ini cuma akan berjalan lurus dan patuh di atas pakem-pakem mutlak yang sudah diatur sedemikian licin oleh keluargamu buatmu, terutama oleh Papimu. Lebih terutama lagi oleh Mamimu. Perkataan menyelekit Salindri itu membubung bersamaan liuk asap seduhan daun peppermint milik pria berkulit kuning terang bersemburat merah muda tipis yang warna itu berasal dari aliran darah yang setiap kali dipompa maka jantungnya mendetakkan nama pengejeknya.

Apa salahnya berjalan lurus dan patuh? Balas Tendri merengut. Sekali waktu ia mengangkat muka ke arah konter pengambilan pesanan dan dirasanya seorang pemuda pramusaji sedang memantau bilamana ia akan bereaksi karena diceramahi teman perempuan di depannya ini. Apa mas pramusaji yang ia yakin berusia kurang dari usianya itu punya pengalaman diceramahi teman wanita juga persis yang dialaminya detik ini, Tendri menimbang-nimbang agar bisa memberinya jeda waktu sebelum menanggapi Salindri yang berlidah tajam. Dia tahu lidah itu paling tajam kalau sedang mengiris dirinya.

“Kayaknya Kouta memang gak datang, Ten.” Gadis darah Jawa yang sehadapan dengan si pemuda itu malah mengalihkan omongan.

“Sudah kubilang dia lagi balik Jepang.” Kesan yang si pemuda tunjukkan seperti ledakan yang ia tahan.

“Ngapain dia pulang, Ten? Bakal selama apa?”

“Mana tahu. Apa urusku?” Muka Tendri yang memang anti senyum kecuali Salindri sedang memanja-manjainya itu terus saja tertekuk kalau bicaranya sudah membawa-bawa Kouta.

Bagaimana caranya biar Tendri tak tahu kalau aku benar-benar menyayanginya. Batin si Jawa yang sudah tak begitu medok lagi dalam memandangi Tendri yang fasih dikatanya si tukang nunduk-nunduk saja. “Ten!” Ia teringat pertanyaan Tendri yang semula.

“Apa maumu, Sal?”

Salahnya, kamu gak bisa bercerita kelak ke cucu-cucumu bahwa kamu yang super patuh ini pernah mbandel...”

Usai pertemuan itu, Tendri yang pulang ke kediamannya dengan rasa dongkol di hati atas pembicaraannya bersama Salindri tadi seperti bukan meraih sofa dalam ruang tv maha luas itu untuk ia duduki melainkan melemparkan tubuh jengkelnya ke situ. Dia yang diam-diam menelurkan sobekan-sobekan sajak yang diselipkan sembunyi-sembunyi ke penjuru-penjuru gedung keluargaku. Sajak itu tentangku. Buatku. Perempuan yang demikian ya takdirku! Sampai kapan Kouta jadi resapan yang menghidupi dedaunannya?

“Galau saja tampang kau. Cuci muka sana, ambil kursus bahasa Jepang!”

Kalau dia sudah fasih berbahasa Jepang nanti apakah bahan rebutan itu seratus persen jadi miliknya? Sementara yang seratus persen Jepang pun memilih berbahasa selayaknya orang sini ketika tinggal di sini.

Tapi disindir Papi yang sekilas melintasi ruang keluarga rumah mereka namun paham sekali tindak-tanduk sulungnya soal ketagihan-ketagihan anak muda itu terhadap rasa nyamannya kalau sudah bersama-sama Salindri, lekas menegakkan punggung si pemuda. Jadi akibat friendzone kronis yang diidap antaraku, Salindri dan si Jepang yang muka senyumnya selalu membuat Salindri berdesir-desir semriwing, mukaku galau?

“Pulang sudah kamu, Ten. Tutup agenda kumpul-kumpul hari ini?” Suara wanita yang memperdengarkan keangkuhan berwibawa yang alamiah pula menyerbunya. Seolah-olah tepat keberadaannya hanya sejengkal dari Papi yang sebelumnya lewat. Padahal kemunculan Mami berjarak, barangkali, sepuluh menit “Kumpul-kumpul kalau buat main doang kalian bertiga dah ketuaan. Kumpul-kumpul bangun bisnis sendiri sana!”

Barangkali inilah mengapa Salindri masih agak menghindar berurusan dengan sebuah hubungan yang dibangun bersama dirinya. Barangkali inilah unggulnya si Jepang sebab hidup dosen beken lantaran nyaris bermuka aktor asal kampungnya itu sebebas aliran sungai bukan dirinya yang memiliki banyak rem berupa pakem-pakem yang dibicarakan Salindri dalam sebuah ruangan yang tetap pekat beraroma kopi krim meski asap dari dua cangkir minuman teh-tehan panas melayang di depan muka mereka, dan tanpa disangka-sangka oleh mereka berdua memutarkan intrumental piano dari Norwegian Wood. Kedua orang ini dengan termasuk sahabat karib yang nyelip di tengah-tengah hubungan mereka bukan penyuka vintage, tapi ketiga-tiganya sepakat akan mencobai satu per satu coffee shop di kota itu (hanya yang menyediakan minuman berbahan teh-tehan untuk menu tambahannya. Karena Salindri tidak minum selain teh hijau gaya Jepang dan Tendri kadang-kadang benci bau kopi kalau racikannya tidak sesuai dengan standarnya yang bahkan tak dimengerti oleh kedua sahabatnya, hanya dia sendiri yang paham standar itu) yang menurut mereka siapa tahu pada akhirnya semua tempat itu kegiliran juga. Sebelumnya mereka sudah pernah ke sini bersama Kouta yang sekarang tak bisa bergabung lantaran pulang kampung. Seharusnya bikin ngantuk, pikir Tendri pada dirinya. Midori, pikir Salindri yang tiba-tiba sadar mendengar musik ini seharusnya ia teringat akan Naoko.

Semua kebarangkalian dipikirkan dalam kepala anak muda yang merasa Salindiri suka sekali mengatainya anak mami, hingga tersungkurlah dirinya ke dalam kelelahan yang menidurkan dari atas tempat duduk.

***

Cinta mana pernah datar-datar saja reaksinya, Sayangku

Jadi jangan sekali-kali engkau di dekatku

Sebab aku pastilah limbung

Kemudian terjatuh

 

Cinta mana pernah gagal merayu, Sayangku

Jadi jangan sekali-kali engkau jauh dari mataku

Sebab aku pastilah limbung

Kemudian terjatuh

 

Dari sajak pertama yang ketemu olehku. Diselipkan ke rangkaian mawar dan aster pelaminan. Bunganya hidup. Sajak ini hidup, memanggil. Kamu tulisan tangannya pasti lebih dari satu, Sal. Salah satunya, ya, buat menulis sajak buatku.” 

“Tahu tulisannya ditujukan ke kamu, dari mana?”

“Ya kamu tulisnya begini di balik halaman sajaknya... Buatmu, Ten. Ya lucu kalau ini buat orang lain.”

Entah apa yang justru menurut Salindri lucu sampai tawanya geli sekali. “Sajaknya begitu masa iya kasual amat kalimat tujunya?”

Lihat selengkapnya