Kalau-kalau Kita Gila Suatu Kelak

Niskala A.
Chapter #3

3

“Tangis pilunya beneran pilu, Ten. Tapi kuat juga menahan malu.”   

“Aku pun gak bisa ngomong apa-apa.” Sikap Tendri setengah apatis.

Karena dia bosnya, ia tak mendengar desah napas mengeluh dari pengatur sound system gedungnya ini (yang berdasarkan keluhan dari home singer dan MC, seratus persen orang yang gemar mengeluh kalau pas dimintai menyetel pengatur suara atau memutarkan musik untuk dancer biar itu sudah job desk-nya sekalipun) saat meminta diputarkan From This Moment dalam kondisi gedung masih kosong hanya untuk mengiringinya dan Salindri berbincang menempati sepasang kursi bersarung renda berpita merah tepat berhadapan jauh dengan posisi kue pengantin yang sudah setengah jam lalu dipasang.

“Sebelum-sebelumnya... maksudnya sebelum aku kerja di sini, berapa kali ada kejadian yang begituan di gedung ini?”

“Baru ini. Amit-amit sampai ada lagi.”

Tendri mengeraskan suaranya yang biasanya bersembunyi di balik sikap acuh tak acuhnya yang gawat saat kembali meminta sesuatu kepada orang di balik perangkat suara. Mendadak dia maunya versi lagunya digantikan dengan versi instrumentalnya saja.

“Kisah Sedih Pengantin di Palembang, “Wedding Organizer” Kabur, 1000 Tamu Tak Makan. Mana lebih menggaet tata bahasanya dengan yang ini... Wedding Organizer Kabur, Tamu Pesta Pernikahan di Gedung Konvensi Bla-bla-bla Palembang Tak Makan?”

“Pertama.”

“Kok?”

“Gak nyantumin nama gedungku di judulnya. Di situ kan nama gedungku jadi Bla-bla-bla.”

“Tetap tertera juga di narasinya.”

“Belum tentu pas orang nangkep judulnya, narasi beritanya ikut dibaca.” Kilah Tendri.

“Nah kalau begitu pas mau makan, piring yang siap pakai jangan dibasuh lagi sama air keran.”

"Kalau sedang ngomong pasti kocar-kacir sana-sini apa yang dibahasnya." Kalimat Tendri yang hampir tidak kedengaran oleh Salindri itu sedikit terbaca juga dari ekspresi mukanya. Tapi Salindri tak menggubris hal itu. Baginya yang penting ia mengungkapkan pendapatnya.

“Pas kamu basuh lagi dengan air mentah sama saja kau tumpahkan bakteri hidup ke piring makanmu. Air itu salah satu media, Ten, dalam siklus hidup mikroba patogen yang kalian sebuti kuman. Air mentah paling potensial mengandung bakteri Escherichia coli, pernah dengar kuman e.coli kata promosi sabun antikuman yang pakai triclosan?”

“Kayaknya.” Kata Tendri sambil lalu.

“Tapi di kondisi kering, asal benar-benar sudah dicuci bersih, dalam piringmu gak ada substrat dan sumber kimia pangan buat mikroba beranak-pinak. Itu aman.”

“Nah jadi, kenapa tak pakai mawar merah muda dalam setiap dekor rancanganmu?” Kata pakar nunduk itu, melompati bahasan sebelumnya dan tidak berkeinginan membicarakannya lagi.

“Aduh, aduh, bosnya perhatian amat. Tapi jadi gini, tiap warna mawar ada maknanya. Terlepas benar atau tidaknya, merah muda melambangkan kasih yang masih ragu-ragu, kurang berani dalam hal cinta. Masak yang begituan dalam pernikahan?”

“Kenapa selalu harus ada mawar dan aster di setiap dekor rancanganmu?”

“Mawar, aster sangat klop berduaan. Asal ada mereka kembang-kembang lain tinggal mengikuti.”

“Kok bisa sangat klop?”

“Waktu kuhadiahkan bunga di wisudanya. Itu cuma setangkai mawar putih dirangkai dengan rumpun aster coklat muda. Kau tak liat sih waktu itu betapa manisnya paduan mawar dan aster yang kukasih ke dia.”

Dengan jengah Tendri paham siapa itu “dia”.

“Bagaimana mau lihat? Aku baru ketemu dan kenal denganmu dua tahun sesudah kau lulus.” Yang saat pertama kali mereka bertemu, Kouta membawa Salindri ke sebuah gedung konvensi yang ujar si pemuda dari Saga milik orang tua temannya yang mau dikenalkan ke si gadis. Yang saat itu Tendri menanggapi datar tapi tak berarti cuek, respek tetapi terkesan sangat cuek.

“Sebenarnya kamu bisa lihat, Ten, dalam ruang tak nyatanya kita. Seandainya kamu lihat, Ten. Manis sekali.”

“Muka kawanmu itu?” Mata Tendri memicing, ada nada sinis yang dingin dalam bicaranya.

“Dia tidak manis, Ten, tapi keren. Mukanya judes tapi orangnya seru. Kau yang manis, Ten.”

“Apanya?”

“Bibirmu.”

“Kau sudah ciuman dengannya?”

“Jangan gila dong kalau nanya! Lewat depanku saja dia main lintas. Serius! Aku sudah baca karangan Murakami yang judulnya Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya. Kira-kira kasusnya sama dengan Tsukuru, cuma dalam kasusnya awalnya Tsukuru gak paham apa yang terjadi sehingga keempat sahabat itu benar-benar memutus hubungan darinya. Kasusku sejak awal sudah kupahami.” Salindri menganggukkan kepala tanpa melihat ke arah Tendri sebagai teman bicaranya, menciptakan suatu keyakinan mendalam. “Yaitu semenjak dia tahu aku suka dengannya, mendadak aku mengidap kuman penyakit menular.”

“Dengan Kouta?”

“Wah yang itu juga serius! Belum pernah aku nyoba bibir made in Japan. Heh sekarang boleh jujur? Brewok halusmu pas ciuman kita di ruang tunggu pengantin itu bikin gatel, tau. Kenapa gak kau cukur? Resek kau itu!”

“Bilang saja nyuruh cukuran sekarang. Nanti-nantilah.”

“Kulit putih mana cocok sama brewok halus nampaknya malah kurang bersih. Serius. Besok cukur ya!”

“Hmm.”

“Enak gak kuliah di Guangzhou? Hari apa saja kumpul bareng Kouta? Fakultas kalian berjauhan gedungnya?”

“Kamu tatap aku! Praktis muncul dalam pikiranmu, melihat mukaku, aku pasti cocok saja kuliah di Tiongkok mau di manapun daerahnya." Dari perkataannya itu, menurut Tendri sebenarnya Salindri tak perlu bertanya karena di binar mata perempuan itu sudah tergambar jawabannya. "Hampir tiap hari pun ketemu Kouta. Sebetulnya fakultasnya lumayan berjauhan cuma garis tanganku memang sudah nyambung ke garis tangannya dia jadi memang sering mojok bareng. Salahku memang usul ke Kouta supaya ikut ke Palembang biar lanjut studinya di Pascasarjana Unsri. Yang semenjak jadi kesayangan si guru besar dia dipercaya jadi asisten dosennya buat ngasih kuliah di kampus Indralaya. Yang semenjak kepalang jadi asisten dosen sesudah lulus tesis langsung dipercaya lagi sebagai dosen honorer di tempatnya ngasisten itu. Harusnya dia ke mana ya, katanya? Filipina? Vietnam?” Terakhir Tendri menggumam sendiri.

“Kok kau gak ambil master juga kayak Kouta, Ten?”

“Sibuk ambil alih gedung sebab mulai dari aku pulang karena S1-ku kelar Papi maunya tinggal santai terima pemasukan dari yang dibangun dan dibesarkannya dari nol, dan sibuk pula ngurusin kamu yang juga gak mau lanjut S2 tapi malah merengek minta dikaryawankan di gedung ini yang jangan-jangan andai tak segera kuiyakan kau bakal pakai alasan nanti bisa mati kalau tak selalu dekat-dekat denganku.”

“Tapi dari masih kuliah aku sudah part time tiap Sabtu-Minggu di kantor event organizer, ngurus bagian dekorasi. Klop kan sama jobku di sini. Beruntung kamu itu dapat aku.” Bela Salindri untuk dirinya.

Lihat selengkapnya