Kouta menyukai situasi ini. Sebuah kesempatan di mana jarang-jarang tak ada Tendri di tengah-tengah antaranya dan Salindri. Walau sebetulnya ia tak masalah juga dengan kehadiran saingannya di dekat mereka. Hubungan karib antara kedua alumni universitas di Guangzhou, Tiongkok tersebut tak mungkin sampai diluluhlantakkan wanita. Bukan berarti juga Salindri tak mampu membinasakan salah satu dari dua pria yang dianggapnya sahabat, Kouta berpendapat sambil memandangi Salindri dari dekat. Tentu yang binasa bukan dia, lanjutnya sedikit bernada cemooh. Kamu merindukan aku, Sal. Kouta tak terdengar bertanya.
“Hipotesis apa kesimpulanmu? Kalau hipotesis, berdasarkan kerangka pemikiran apa bahwa aku merindukan kamu, kalau sebuah kesimpulan seberapa yakin penelitianmu tentang tetek bengek perasaanku akhirnya berkesimpulan kepada aku merindukanmu?” Dengan gaya formal setengah-setengah yang pun sangat dibuat-buat, Salindri seolah ingin mengimbangi kegombalan si dosen.
“Ini persoalan memahamimu, Sal.”
“Siapa kamu memahami aku?”
“Yang menunggumu hingga terik hanya agar kau teduhi di bawah poni rambutmu. Yang sedemikian ikhlas berdebu agar kau sapukan telapak tanganmu mengusap penantiannya. Yang jauh lebih awal memikirkanmu dalam ketergilaannya. Tendri itu lama sesudah aku, baru dia kenal kamu. Jadi, kenapa?”
“Jadi kenapa, apanya?”
“Kamu condong ke dia?”
“Tunggu dulu! Aku masih penasaran dari mana tahu aku rindu yang tadi itu?”
“Lewat caranya bicara, Sal, jelas betul situasi di tengah-tengah kalian berdua, ya kau rindu kehadiranku.”
“Dia marah-marah, ya?”
"Kurasa begitu muncul, ya ditelannyalah aku bulat-bulat. Biarpun gorengan shanghai yang sama besarnya denganku saja paling tidak dua kali gigit baru habis olehnya." Kata Kouta mencoba bercanda, yang lantas terbersit obrolan ketiga karib itu ketika di suatu malam mendekati larut Salindri ngotot belum ingin meninggalkan minuman teh hijau Jepang bercampur susu dan krim miliknya yang sisa kurang dari setengah sementara Kouta sendiri berkecimpung setengah-setengah pada monitor laptop yang menampilkan slide bahan perkuliahannya besok yang dikerjakan sks (sistem kebut semalam) sebab tergiur mencoba teknik itu dari mahasiswanya sendiri. Sementara Tendri membacakan carikan kertas yang sekian kali ia temukan dekat meja kerjanya yang menyampaikan sajak yang ia yakin itu tentangnya dan Salindri diam-diam penulisnya, dalam antusiasme yang mengharap imbalan setiap individu yang ada di situ dapat mendukungnya memiliki Salindri tanpa terbagi persentase antaranya dan Kouta atau lelaki manapun.
Sinar lilin dalam matamu menginginkan aku
Sembunyi-sembunyi, munafik
Masih ada hal lama, mati tapi gentayang
Biar kutunggu
Suatu hari kau peluk dari belakang
Kira-kira apa maknanya? Ditagihnya kedua temannya memberi masukan usai ia membacakan pada sela-sela kedua orang itu bahkan tidak begitu memperhatikan sebenarnya. Yang jatuh cinta berkat pandangan, Kouta menjawab, pun pada sela-sela pekerjaannya sebagai dosen yang harus menyampaikan perkuliahan esok pagi-paginya. Ceweknya pegel nunggu ditembak, Salindri menjawab di antara paham maupun tak paham memang sajak itu berasal dari tulisan tangannya persis yang selalu dituduhkan Tendri. Memang cowoknya gak nembak-nembak, masak? Tendri bermaksud memojokkan Salindri atas jawabannya sendiri namun teman perempuan itu tak kunjung seratus persen menghadapi pertanyaan-pertanyaan darinya. Kouta gak pernah ragu nembak, kalaupun pasti ditolak. Di mana akhirnya justru perkataan Salindri yang memojokkan si penanya. Saat itulah Kouta akan menindaki situasi sinis antara Salindri dan Tendri dengan menceritakan legenda-legenda Jepang yang olehnya kebanyakan mengambil latar musim dingin. Bercerita Kouta ke kedua karibnya di tengah perbincangan mereka. Bahwa ada pohon sakura berbunga saat musim salju. Jiu-roku-zakura “pohon sakura hari ke enam belas”.
“Jadi waktu berbunganya malah di musim dingin, padahal kebiasaan alami pohon sakura akan menunggu musim semi untuk berbunga. Sekitar akhir Maret atau awal April.” Katanya memancing perhatian.
Maka ia lanjutkan kisah itu dengan pembawaan menyerupai pendongeng handal.
“Dahulu kala seorang lelaki hidup sampai umur sangat renta dan tak tersisa lagi hal berharga baginya di dunia selain sebatang pohon sakura yang kerap dipasanginya kertas warna bertuliskan puisi puja-puji di cabang-cabang yang berbunga. Ketika pohon tua itu layu dan mati si lelaki yang terlalu sedih pergi ke kebunnya tempat pohon itu tumbuh dan membungkuk di depan pohon yang layu. Berbicara dia ke pohon itu “Aku mohon kepada Engkau supaya berbunga kembali, karena aku akan mati menggantikan Engkau.” dan yang dilakukan si tua oleh orang Jepang diistilahkan dengan migawari ni tatsu “bertindak sebagai pengganti”. Di Jepang ada kepercayaan orang bisa bertukar nyawa dengan orang lain, dengan hewan, juga tumbuhan. Atas izin para dewa. Di bawah pohon itu si tua melakukan hara-kiri dan arwahnya masuk ke dalam pohon sakura yang seketika berbunga.”
“Jiu-roku-zakura berada di Prefektur Ehime. Setiap tahun pohon itu berbunga pada hari peringatan si tua menyerahkan jiwanya ke pohon tersebut. Hari keenam belas bulan pertama setiap tahun, di tengah musim salju. Cuma di hari itu.” Kouta menutup legenda urbannya dengan ungkapan, “Percayalah! Betapa mistisnya musim salju.”
Legenda yang demikian mengingatkan Tendri pada seorang pria yang ada dalam cerita yang diceritakan Salindri saat mereka berdua saja. Seorang pria dari kota yang terobsesi dengan pohon bunga magnolia hingga berburu koloni tumbuhan itu jauh ke dalam hutan di daratan Sichuan dan malah bertemu peri. Seorang lagi pria tergila-gila pada pohon bunga tanpa musabab jelas selain yang Salindri namai dengan namaku dalam dongengnya waktu itu, ungkapnya dalam hati. Namun kegilaan demikian itu dirasa Tendri memang sifatnya rohaniah, meski bukan berarti pepohonan itu dituhankan. Baik cerita Salindri maupun dari Kouta sama-sama memberinya resapan yang bersifat spiritual hanya tentu ia tak mau kalah dari saingannya hingga menceletuk, Percayalah! Oleh kami bangsa Tiongkok, hantu-hantu pun diperjualbelikan. Ada pasarnya sendiri. Betapa mistisnya sistem jual-beli bangsa kami. Selalu seperti itulah gambaran pertemanan mereka bertiga yang dipahami Kouta dalam ingatannya.
Pagi itu hari kedua mereka terjun ke lapangan. Salindri yang berjalan bersisian dengan Kouta hanya jadi bahan perbandingan dalam bisik-bisik warga desa yang agak heran melihat pemuda bermuka tidak sama dengan kebanyakan orang yang pernah mereka lihat dalam radius sekabupaten, bahkan termasuk gadis yang bersamanya. Dan lagi mukanya terlalu bersih, terlalu kelimis malah. Sekalipun warna asli kulitnya yang malah lebih putih lagi daripada Tendri dan sudah hampir kembali sepenuhnya berkat berminggu-minggu pulang kampung dengan cepat menggelap lagi tersiram matahari Palembang dan sekitarnya. Padahal dalam dunia akademik hal semacam campur tangan warga asing dalam perkuliahan maupun penelitian sama sekali tak aneh. Salindri pertama kali bertemu pria asing itu dalam bus kampus ketika keberangkatannya menjadi uji coba bahasa Jepangnya yang hampir bias ditelan waktu. Dan semenjak Kouta dari balik buku tebalnya yang membahas sosial masyarakat pedalaman pertama kali melihat gadis lokal berbicara Jepang ke orang Jepang itulah ia berpikir takkan melepaskan perempuan berparas manis yang katanya tak jenuh-jenuh dipandangi itu. Gadis ini gula jawa, baginya, manisnya menagihkan, pun memberi tenaga pada sebuah pendakian panjang dalam hidup. Jadi jelas dialah yang temukan gadis berbahasa Jepang pas-pasan ini dalam perjalanan dari kampus Unsri Bukit, dalam bus kuning tanpa AC saat mengantar rombongan mahasiswa dari Universitas Saga yang mau ke Unsri Indralaya tapi di luar dari kunjungan resmi sehingga harus naik bus mahasiswa. Gadis ini semestinya hidup bersamanya. Enak betul hidup si tentara Cina yang dikenalkan belakangan dengan si gula jawa malah mendapatkan hatinya. Selalu itu kerangka pemikiran yang dipegang Kouta dalam menghadapi karib sendiri yang sudah dikawaninya entah sejak zaman apa dalam merebut seluk beluk percintaan Salindri yang tak mungkin lepas dari kisah masa lalunya bersama seorang teman sekelas sewaktu kuliah.
Sewaktu tiba kembali di Palembang, dari seberang pembatas kaca didapatinya Salindri sendirian saja menjemput di jalur kedatangan bandara, dan tak bisa ia tentukan senyuman Salindri atau semburat rona mukanya Salindri yang paling dia rindukan. Sampai saat di tempat ini pun tak bisa Kouta tentukan. Namun lantas ia segera teringat posisinya. Leluasa, ya? Berdua saja sih. Lama sekali Kouta menatap ke arah perempuan itu walau Salindri berusaha lari dari pandangan yang demikian intens mengandung kecemburuan. “Aku sayang dia, Kou.” Aku Salindri malu-malu. “Sayang kau juga. Cuma beda.” Helai-helai rumput yang merambuti tanah tak luput untuk setia jadi lesehan bagi kata-kata. Sedangkan bau-bauan pagi hari menggelitik hidung, sama menggelitiknya dengan gesekan rumput ke kaki. Bau khas rumputnya paling menyentak, semacam aroma manis dari campur baurnya wangi pandan dan sari pati rerumputan yang tercium lantaran habis dipangkas dan setengah dari itu merupakan aroma ketidakikhlasan yang harus juga diikhlaskan.
“Sebelum matahari menandakan zuhur kita jalan-jalan ke ibukotanya kabupaten yang satu dusunnya sedang kamu teliti ini, Kou, mau?” Terdengar seperti Salindri sengaja tak mau lagi membahas masalah barusan.
“Bawa aku ke mana saja, Sal. Terserah arahmu. Heh, ini kategori desa, bukan dusun.”
Kemudian mereka benar-benar mengadakan perjalanan ke tempat dulunya, seseorang itu, yang menghantamkan impian percintaan Salindri dengan pernikahan bersama orang lain pernah menetap. Dengan menyewa ojek warga lokal, waktu tempuh hanya 30 menit dari desa yang mereka tinggali sementara.
Ia bagian dari kawan-kawannya yang seandainya esok ia mati dan di hari sebelum mati itu mereka menyalaminya dengan ucapan selamat. Ia air yang menyiram yang membasuh yang melarutkan sendiri segenap rasa silamnya namun musnahkah itu? Anak Unsri ini selalu mengherankan Kouta dengan cara berpikirnya terutama terhadap kenangan namun justru di situ letak daya tariknya yang tak main-main bahkan bukan main menurut orang yang merasa hampir sama tak warasnya dengan Salindri ini.
“Ini tempatnya, Kou. Tapi dia sedang tidak di sini.”
“Karenanya kamu akan ke Kamboja. Seperti apakah dirinya itu, Sal?”
“Dia inti semestaku, dasar samudera lepasku, dulu.” Dari caranya menjawab menggambarkan hatinya masih merasa begitu. “Waktu kuliah aku kepengin bener, Kou, berboncengan dengannya di atas jok motor bebek merahnya. Gak sekali saja kesampean biar sudah senyaris apa. Betul-betul pertanda.” Kenang Salindri tentang manis pahitnya mendambakan sesuatu dari orang itu.
“Nasibmu sih, minimal ke mana-mana naik Pajero hitam itu.”
“Sst! Diam-diam saja dong. Kau gak akan percaya sih kawanmu itu tahu-tahu bakal tahu kalau di sini aku denganmu ngomongin dia.” Gelagatnya seolah-olah betul-betul mereka sedang diawasi Tendri dengan dua matanya yang pintar mengintai.
“Kau gak senang andai punya cowok kaya begitu?”
“Ya ada juga kepikiran kepengin dapat orang berada.”
“Nah dia?”
“Kalau kata orang Palembang, Kou, Itu lah kekayoan gino! Tetek bengeknya riweh. Nomor wahid ya dari si Mami.” Dari mimiknya Kouta menunjukkan tanda-tanda dirinya sependapat dengan Tendri soal perasaan Salindri ke wanita yang ia bawa-bawa sebagai alasan.
“Buat apa mengejar yang di Kamboja lagi, Sal? Kau masih cinta?”