Perjalanan kali ini memasuki setengah jam lepas Transmusi meninggalkan halte kampus Unsri yang di Bukit Besar, dan menghayati perjalanannya melepas batas kota Palembang, menuju kampus satunya lagi yang nama daerahnya asing masuk ke telinga orang dari luar Sumatera Selatan. Di pertengahan perlintasan antara dua kampus berbeda dinaungi satu universitas, teratai-teratai liar dua semburat warna bergelandangan terapung-apung pada permukaan keruh. Bus terus melaju mengantar penuntut ilmu berusia belia yang di tengah semangat-semangatnya berjejal dalam kendaraan panjang ke kampus kebanggaan mereka. Ikut mengantarkan pula orang yang sudah lama sekali patah hati ke tempat tersedihnya.
Ngomong-ngomong, dirinya dan mahasiswa-mahasiswa ini hampir sampai. Yang terlelap mendadak terbangun, yang pembosan dengan sebuah perjalanan bangkit sumringah, yang berdebar-debar menyongsong mata kuliah-yang barangkali-di bawah bimbingan dosen muda single yang pula ganteng mendadak membetulkan dandanan ala gadis seumuran mahasiswanya. Yang kembali ke sebuah kerinduan, bersiap menurunkan kakinya dari dalam bus Transmusi yang waktu itu sudah lebih banyak digunakan daripada bus kuningnya Unsri.
Memang alumni ini kerap kembali ke sini di sela-sela kesenggangannya. Sekadar membacai koleksi perpustakaan pusatnya, makan di kantin-kantinnya secara bergantian setiap kembalinya dia, jajan siomay kelilingnya yang sampai sekarang dalam selera dia ngotot itulah siomay gerobak terenak, atau lebih sekadaran lagi hanya melihat tempat ini kembali. Karena setiap menginjakkan lagi kaki di kampus ini bisa didekapnya kerinduan itu. Terutama saat berkeliling dari satu fakultas ke fakultas-fakultas lain sambil menumpang angkutan desa bercat kuning mentereng yang keliling universitas terluas se-Asia Tenggara ini-tanahnya, kalau Salindri tidak salah ingat soal kakak tingkatnya yang pernah memberitahukan begitu. Dan paling utama lagi, ketika mengkilas-balik tangga yang dulu kerap dinaik-turuni oleh mereka.
Sekarang Salindri tepat menghadap tangga itu dari bawah. Sengaja memilih jam sepinya dari orang-orang baru yang tentu sudah tak mengenal dirinya lalu sebaliknya. Berbuat begini, serupa sengaja datang memintai izin dari kerinduan itu untuk melakukan perjalanan ke tempat yang jauh tak lama lagi. Perjalanan yang nantinya mungkin mempertemukannya lagi dengan salah seorang yang menjadi bagian dari mereka yang dulu itu. Lama sekali bisa dijumpainya kembali anak-anak tangga ini.
Setelah teringat kunjungan terakhirnya ke kampusnya dulu secara tiba-tiba otaknya tersetir ke Perpustakaan Daerah yang dekat dari rumahnya. Yang sering pula dia datangi di zaman-zaman kuliah semester-semester ujung, walau sering nyaris di perbatasan antara jam buka dengan jam mengakhiri kegiatan di tempat ini. Salindri biasanya berdua dengan teman sekampusnya, Shella, yang sama-sama pulang ke Palembang, biasanya ia suka mendului kawannya menaiki anak-anak tangga ke lantai-lantai atas yang seingatnya ditujukan bagi ruang kearsipan Sumatera Selatan tanpa terkecuali surat-surat kabar jadul, dan barangkali ruang staf dan kepala perpustakaan di sini juga. Lantai-lantai tersebut memang selalu agak terisolir dari pengunjung yang sekaligus beranjak berpulangan disentil jarum jam. Cuma memang kedua orang yang waktu itu masih mahasiswa ini suka penasaran dengan lantai atas gedung pusda.
"Pustakawan bukan sekadar penjaga perpustakaan, ya kan, Kou?" Bahas Salindri ke Kouta yang bersamanya dalam sebuah perjalanan ini.
“Kalau untuk dikatakan penjaga tidak harus kuliah kepustakaan. Satpam perpus juga penjaga perpustakaan. Perawat bangunannya juga penjaga perpustakaan.” Kouta memberi penjelasan dan dibayangkan oleh Salindri pria tersebut dalam keadaan berjalan menekur khusuk menghitung jumlah ubin yang dipakai menyusun lantai anak tangga gedung perpustakaan dalam pembicaraan mereka.
“Tenaga pengelola profesional perpustakaan, mereka-mereka itu yang secara terkhusus baru bisa dikatakan pustakawan. Kamu akan temukan orang-orang ini berkutat pada katalogisasi, pengklasifikasian buku, pengembangan dan pelestarian koleksi, dan rujukan. Kepustakaan sendiri sebuah cabang ilmu. Bisa ditemukan di universitas yang membuka program studi ilmu perpustakaan yang prospek berkarir bagi lulusannya malah tidak terbatasi melulu di perpustakaan tapi jauh lebih beragam di mana kamu tidak terpikir sebelumnya.” Ia melanjutkan penjelasan tapi, dalam imajinasi Salindri, sudah tidak dengan pandang menekurnya. Tidak menyesal Salindri berkawan si dosen nyasar ini, otaknya memang berisi.
“Pernah sekali-kali aku bermimpi, bercita-cita, jadi pustakawan.”
"Kelakar saja kamu." Ledek Kouta.
Tanpa terasa mereka hampir sampai ke tempat pemberhentian. Tangan sebelah kiri Salindri berasa kebas oleh terus-menerus bertumpuk siku, tapi ia sepertinya memang gemar melakukan tingkah ini dalam kendaraan. Jendela mobil dari sisinya memamerkan caranya menangkap sesosok menara Ampera yang menjulang kembar.
Seminggu lebih berlalu sejak keberangkatan Salindri dan Kouta ke OKI. Mereka kini sudah kembali ke Palembang tapi memutuskan melanjutkan perjalanan berdua saja. Turun dari taksi daring kedua sahabat itu langsung melakukan pelayaran dengan biduk berbahan bakar minyak yang orang lokal sebuti ketek, juru mudi memperkenalkan Kouta ke suara bising sepanjang pelayarannya. Sungai raksasa yang punya kepribadian alirannya sendiri, pemuda tersebut menilai. Panjangnya meliuk macam ular raksasa, lebarnya membentang memisahkan Ilir dan Ulu yang masing-masing punya ciri urbannya sendiri, kalau kata Salindri tadi. Namun komunitas perumahan apunglah, kehidupan urban sungai ini yang paling Kouta kenal.
Kedua pelayar itu tiba di Pulau Kemaro yang melapangkan labuhannya bagi kunjungan ini. Oleh Kouta, ditemaninya Salindri ziarah makam. Pusara Putri Palembang disunting Pangeran Tirai Bambu, tragis di-epilog-kan salah paham antara koin emas dan sawi asin. Berdua berdampingan hingga ke gundukan kubur. Disejajarinya kaki-kaki Salindri mendapat kecewa dan malu karena gadis itu juga pertama kali ke Pulau Kemaro (ironisnya karena dia sendiri orang Palembang) dan dipikirnya pengunjung biasa boleh menaiki pagoda sembilan lantainya sampai puncak padahal isi dalam bangunan vertikal itu dikhususkan bagi penganut Buddha bersembahyang. Dirinya sudah kemakan tayangan wisata yang menipu, mereka yang ia tonton bisa menaiki puncak pagoda itu paling-paling dibatasi pada budayawan setempat dan host acara yang mendapat pengecualian demi membuktikan keindahan Palembang dari ketinggian di atas sana, batin Salindri malu.
“Kita mau masuk ke sana bukan buat memuja Sang Buddha, ya mana dibolehkan. Memangnya dalam pagoda tempat main-main.”
“Tahu dari awal malah gak ngomong. Kepalang malu baru ngomong. Terus dari mana kamu tahu selain yang beragama Buddha gak boleh masuk? Setipe pura Hindu?”
“Ayahku pengikut Buddha. Aku tahu sedikit. Ditambah kita tidak berjubah bhante.” Kata Kouta.
Di akhir kebersamaan diam-diam mereka di belakang seseorang ini, Salindri mengantarkan Kouta melihat-lihat. Sehingga pemuda itu terus mengekorinya.
“Ini sebetulnya pulau cinta lho, Kou. Hayo... kenapa gak buru-buru nikah dan bawa istri ke sini? Supaya abadi.” Goda temannya.
Garis bibir itu lengkung ke bawah. Tapi senyum di matanya tulus. Menurut Salindri mata kouta selalu sejuk dalam keadaan bagaimanapun. “Kalau dengan cepat-cepat bisa denganmu ya mau.” Katanya.
“Hush!” Sergah Salindri seperti mengingatkan. Tapi Salindri yang bertingkah sebagai pemandu bagi Kouta, tanpa menunggu dosen itu malah berlari ke udara lepas. Bercipratan segenap embusan ke mukanya. Ia berhenti di pohon yang rimbun oleh permohonan percintaan.
“Aku senang kalau kamu mau cerita tentang Rhanu.” Tukas Kuota saat menghampirinya.
“Yang tentang apa lagi mau didengar?” Salindri berpura-pura seakan yang didengarnya dari Kouta itu tidak serius.
“Waktu awal-awal kamu senang dia.”
“Itu sudah sepuluh tahun lewat. Buat apa sih?”
“Aku senang dengar kamu cerita. Ya apa lagi yang jadi jatahku kalau bukan tempatmu berbagi cerita. Begitu saja gak paham.”
Sebelas tahun. Sekali lagi Kouta harus dengar rentang waktu ini. Yang pada siapapun tak pernah ia buka lagi. “Kou, kamu itu orang paling kupercaya sejagad bumi. Kalau aku cerita. Harus stop di kamu, oke?”
“Hmm.” Kouta setuju.
Tapi Salindri justru was-was duluan kalau cara menjawab Kouta kedengaran meniru cara yang biasa Tendri lakukan waktu mengamini perkataannya. Melihat muka Kouta yang menunggu-nunggu, maka ia berusaha mengalihkan kecemasannya. “Waktu itu tahun 2012. Pertengahan Januari.”
***
Mata melirik jendela yang menyibak gorden biru kekusam-kusaman seperti wajah perempuan bertualang mengesampingkan dandan. Tepi jalanan Sumatera yang masih berhutan-hutan menyita rute, tempat alang-alang raksasa yang warna bunganya merah api menyembul dari tepi tanah tebing, pandan raksasa yang setajam pisau pinggir-pinggirnya, dan rumpun bambu angker yang ditelan semak tinggi dan menyisakan pucuk batangnya. Satu pohon di antara kependudukan padat itu, puncaknya memayung berdiri menyela dengan badan jangkung ringkih. Kadang jalan yang dilalui ini membukit, tapi keseringan dataran rata berumput-rumput liar saja. Ini hari pertama perjalanan mereka. Memakan sepuluh hari rute darat-laut. Secara acak Rhanu diatur duduknya bersebelahan dengan Salindri yang waktu itu dipanggil Adna oleh teman dan dosennya, di baris tengah sisi kiri dalam bus. Sering kali mahasiswa paling jago kalau sudah menghitung dalam kelas menurut Adna itu diam bertepatan seseorang duduk menyebelahinya. Cuma orang-orang ngotot ikut tur meski tak punya budget pesawat yang rela sepuluh hari hidup-matinya dalam bus travel, begitu menurut si teman duduk saat sesekali memecah sunyi.