Kalau-kalau Kita Gila Suatu Kelak

Niskala A.
Chapter #6

6

Ada banyak angin baru berdatangan dari arah yang baru juga. Begitu Salindri masuk kerja sepoian angin-angin asing itu langsung menyapu wajahnya. Karyawan mingguan (Sejumlah karyawan yang khusus bekerja saat dilangsungkan pesta pernikahan maupun acara besar lainnya di dalam gedung, biasanya hanya untuk jadwal akhir pekan. Jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang karyawan inti-Salindri masuk golongan ini-yang mengurus gedung dan kelengkapannya) yang lebih senior nampak membauri anak-anak baru membentuk kumpulan perempuan-perempuan bertukar cerita, anak baru mencurahkan cerita yang mereka pendam yang membuat mereka merasa sesuatu yang janggal, seniornya membagi apa yang sudah lama diketahui mengenai Tendri, anak sulungnya owner convention center ini yang pendiamnya kelewatan itu. Menurut mereka.

Anak bos ganteng. Tak jauh dari tempatnya mengecek kecukupan penggabungan warna pada pergola altar Salindri mulai mendengar. Tapi beda agama. 

Pikir Salindri orang yang dikagum-kagumi itu sebenarnya agak geblek juga dalam menanggapi barang sepele semacam mimpi, kalau saja mereka tahu. Orang kalau selalu menghindar makan daging ayam dan telur sebab bisiknya padaku, dalam mimpi sering didatangi roh si ayam yang ingin buat perhitungan dengan berlari barbar ke arahnya sambil mengepak-ngepak sepasang sayap yang berhambur-hamburan bulu-bulunya dan seraut muka unggas yang diseram-seramkan lantaran menahan benci karena dirinya dan telurnya sudah dimakan, ya jelas geblek si orangnya itu. Si Tendri itu tak sebagus apa yang mereka kagumi, keluh Salindri dari jarak orang menguping. Itu pun karena dia cemburu Tendri dikagumi perempuan lain.

Dia pun jelas beda agamanya dengan anak bos yang ujar karyawan baru itu mukanya ganteng, padahal kulit rentannya gampang betul timbul bintik merah-merah akibat sedikit-sedikit alergi, sedikit-sedikit kalahan. Gerutunya pula dalam hati. Dan yang lebih memasalahkan hal begituan tentu pihaknya, orang-orang dari keluarga besarnya percaya salah seorang anak gadis dalam silsilah mereka sudah buta lantaran cinta. Sementara pihak si anak bos kelihatannya memasalahkan hal begituan namun sebetul-betulnya perkara bagi mereka yang utama jelas kasta dan keturunan. Agama atau apapun namanya-bisa juga keyakinan-ya jelas perkara, tapi mengikuti.

“Memang kalau anak bos beda agama sama kamu, ada pengaruhnya, terus seandainya seagama pun apa bakal ada pengaruhnya?” Singgung temannya sesama anak baru.

“Ya kan cuma ngomong...”

“Ciee ada yang naksir bos.”

“Anak bos!”

“Sama!”

“Kok nggak pernah ngomong gitu kelihatannya?”

“Emang orangnya gitu...” Kata seniornya.

“Dulu malah lucu pas dia baru masuk ke sini kerjanya cuma liat-liatin anak-anak karyawan kerja. Belum tahu harus ngapain. Gak mau ngajak ngomong siapapun.”

“Saking diemnya, Mbak?”

“Saking diemnya...”  

“Maklumin saja kalau dia di dekat kalian tapi gak pernah ada suaranya. Cuma kerja hati-hati. Gitu-gitu dia mantau. Gitu-gitu dia hafal muka sama nama karyawan-karyawannya.”

“Salah-salah nanti ada teguran tapi lewat atasan kita yang bawahan dia, pak manajer atau mbak admin gedung ini.”

“Sudah nikah atau punya pacar, Mbak?”

“Siapa? Aku?”

“Bukan, Mbak, anak bos lho?”

“Sst! Ceweknya sudah masuk kerja lagi. Salah-salah ada yang ngadu.”

“Lho pacarnya kerja di sini, Mbak?”

“Mana? Mana? Yang mana?”

Wajar kalau enakan dia nunduk-nunduk mainin hape ketimbang dengar bisik-bisik orang-orang tak banyak tahu yang seakan-akan tahu semuanya. Kata Salindri dalam pikirannya yang mumet gara-gara mendengar orang bergosip dan yang kena dia.

“Kau di mana?” Salindri mulai mengirimi whatsapp ke nomor kekasihnya.

“Kamu, di mana?” Kata balasan itu.

Lihat selengkapnya