Seorang pria dengan sepasang mata yang awas namun malas tampaknya malah dibuat merengut oleh corak bekas Distrik Prancis, dengan dominasi warna kuning gading dan merah bata atap-atapnya. Barangkali jendela gaya Prancis yang kaku malah membuatnya tersinggung seperti membanding-bandingkan dengan iklim dingin jiwanya, terka Kouta. Pria itu lantas memilih pamit memutuskan arah mana seharusnya ia cari. Kadang-kadang dia mempelajari gumpalan awan yang membentuk tak jelas tapi kadang-kadang pula manusia mengandaikannnya menyerupai sesuatu yang dikenal di bumi. Kouta membiarkan teman perjalanannya menentukan sendiri arahnya sementara pemuda Jepang tersebut tetap memilih masuk ke kantor pos umum bergaya bangunan kolonial di pusat Street 13 Phnom Penh. Dijamahnya salah satu bangku tunggu pengguna jasa pos, dibukanya bungkusan berisi camilan setempat yang agak aneh juga pikirnya saat akan memakan mentah-mentah barang yang ia beli dari seorang pedagang bersepeda lantaran rasa penasaran terhadap segala hal berhubungan dengan tumbuhan air ini. Satu per satu biji buah lotus yang mengingatkannya pada pengidap thrypophobia yang sekian kali dipikir-pikir pun masih juga membuatnya bertanya-tanya “memangnya apa yang ditakutkan dari objek bolong-bolong?” dikeluarkan dari sarangnya dan Kouta mulai mencicipi sebutir demi sebutir. Berasa makan kacang rasa daging kelapa tua, tetapi lebih manis, berair dan garing, katanya dalam pikiran yang mencari-cari ketepatan menggambarkan sensasi yang dirasainya. Sembari mulai ia mengenang kisah si lotus putih yang dengan hati-hati masih dipujainya.
“Orang-orang kampus mulai mengatai aku kembang lotus putih. Menurut mereka aku lotus putih yang cuma setangkai dan kuntum pucat itu pungguk perindu bulan yang mau jadi bagian sehamparan lotus merah muda yang dari warnanya saja menggambarkan hidup yang jauh lebih energik. Tak sebanding dengan aku si sendirian yang tak berwarna tak ceria.” Cerita si teman yang terpaksa hanya bisa dicintainya secara sepihak itu, saat mereka masih dalam agenda penelitian pelosok OKI sepulang Kouta menjejal kebun milik warga yang rutenya harus melintas rawa-rawa bertumbuhan lotus.
“Terus kenapa dia disimbolkan hamparan merah muda di air berlumpur itu? Karena dalam penelitian akhirnya, dia mempelajari lotus.” Kouta mengulang perkataan Salindri di dalam kinerja otaknya sambil meresapi pula ingatannya akan suara gadis keturunan Jawa yang malah terlalu berlogat Sumatera Selatan itu.
Sayang sekali si teman kuliah bersifat abadi dan sayang sekali kawannya sendiri terlalu mudah tersakiti, pikir Kouta yang merasa sebagai orang yang berada di tengah-tengah. Sembari menguyah biji lotusnya, didengarkannya lagu lewat earphone demi membunuh kesendirian dan saat berhenti di satu lirik ia bayangkan temannya meminjam lirik karangan Fiersa Besari yang paling sering didengarkan Salindri itu justru untuk menohok si perempuan sendiri, Hanya setengah dirimu hadir dan setengah lagi untuk dia. Kemudian Kouta membandingkan seandainya kejadian itu menimpa dirinya yang juga sempat mengejar-ngejar Salindri, dan Kouta yang paham sehancur apa Salindri setelah ditinggalkan teman baiknya itu langsung memperoleh jawaban-kalau Tendri saja cuma dapat setengah bagaimana lagi dengan dirinya.