Mereka mengepang rambut kemudian menyanggulnya. Sarung dililit longgar agar nampaklah pinggang putih berlekuknya. Mereka taruh perhiasan berat yang rumit di daun telinga, leher, pinggang, lengan dan pergelangan kakinya. Pada saat prianya membawa tombak dan-hanya cukup-mengenakan cawat.
“Kenapa bukan ke Siem Reap, Kou, ikut merasakan cara orang sana menikmati mie beras? Kenapa kita ke menara ini?”
“Aku mau lihat pahatan Apsara-nya. Ada apa kau tanya?”
Salindri tak memberi jawaban. Tampaknya mungkin ia masih kecewa Rhanu belum melupakan bekas istrinya. Sementara ia tetap tak bisa melupakan Rhanu dan kenangan saat mencintai pria itu. “Aku sedang patah hati lagi, Kou. Sama si kawan kuliah.” Ia mengaku. Dan memang oleh Kouta terdengar nama yang digumam-gumamkan Salindri saat gadis itu langkahnya mendului sedikit, Pemandu yang gak memandu sama sekali, keluh Kouta dalam hati saat menatap tingkah kawannya. Dalam kesunyian mereka terus masuk ke dalam bagian-bagian Banteay Srei yang mengundang Kouta datang karena mendengar nama lain kuil ini. Sekali ini didengarnya lagi Salindri berbicara seperti ke dirinya sendiri namun mungkin sebenarnya ke dia, “Pahatan Apsara pun berbicara, Kou, wanita harus menempelkan banyak benda ke tubuhnya biar terlihat menarik.” Dan sesekali telinga dosen muda itu kembali menangkap nama karibnya diigau-igaukan.
Ketika Salindri nampaknya sudah tidak terpengaruh igauan-igauan-tentang siapa yang mematahkan hatinya sekali lagi tetapi justru nama siapa yang dipanggil-panggil-barulah ia mencair dan dengan riang menerima kedatangan Kouta yang menyusul sampai ke tanah Khmer dan yang pertama-tama mereka nostalgiakan justru detik-detik jelang keberangkatan yang membuat seseorang justru minggat ini. Sekalian keperluan tempat tinggal dia selama di Angkor Wat bisa kau bantu urus, Wok? Mata bersiluet khas rumpunnya memerhatikan siapa ketika berbicara kepada siapa. Si Sal gak akan tinggal di Angkor Wat, itu jelas sejelas-jelasnya kan? Jelas sekali teman Jepangnya mencintai gadis yang ia pandangi, dan mencemaskannya, pikir pria yang barusan dipanggil Wok oleh Kouta. Biar nanti aku nomaden dari satu kuncup lotus ke kuncup lainnya, sela Salindri.
“Apartemen di situ agak parah, Sal. Dari sepengetahuanku selama di sana.” Teman baru Salindri itu berujar. Sebelum sampai di tempat janji ketemu, Kouta memberitahu Salindri kalau orang yang mau mereka temui ini namanya Brewok. Tapi tidak punya brewok.
Brewok ini kenalan Kouta, dari Program Pascasarjana. Pernah bekerja untuk sebuah industri udang olahan di Kamboja dalam kurun waktu lumayan lama, lima tahunan katanya. Sebelum memutuskan balik ke Palembang dan menyambung studi Ilmu dan Teknologi Pangan di Pascasarjana Unsri sebab sudah panggilan jiwa buat memperjuangkan cita-cita dari zaman S1-nya, jadi dosen. Brewok lebih tua dari Kouta, tapi paling-paling cuma setahun di atasnya karena dia lulus terbilang cepat yakni empat tahun pas dan langsung terima tawaran kerja ke Kamboja.
Salindri memperhatikan orang ini dipanggil Brewok jelas bukan lantaran perawakannya. Badannya kecil kurus, kurang tinggi, mukanya kelimis biarpun kulitnya gelap. Sama sekali jauh dari tampang brewokan, malah tipe-tipe rapi dari ujung kepala ke ujung kaki. Usut punya usut, dia dipanggil begitu gara-gara nama bapak kandungnya juga Brewok dan memang betulan namanya Brewok (entah benar atau tidak). Gara-gara itu teman sekampusnya waktu S1 di sebuah universitas di Jawa dulu memanggilnya Brewok untuk bercanda tapi malah panggilan itu melekat sampai hari ini.
“Tapi kolam-kolamnya yang buatan, yang alami, ditumbuhi teratai dan lotus kan seperti kabarnya yang sampai ke telingaku?”
“Teratainya, lotusnya, sesuai pesanan. Sering-seringlah melihat ke arah kolam halaman depan Kuil Angkor Wat. Sekelompok pendeta Buddha kerap berjalan berurutan di atas batu tapak di tepian kolam teratai itu. Hampir sekhusuk sembahyangnya kalau berjalan di atas sana.”
“Kalau sudah di sana baru urusi kembang-kembangannya!” Kouta menginterupsi kedua orang yang membicarakan kembang-kembangan seakan melukis detail keriput wanita tua penjual buah di sudut pasar Battambang. “Bantulah sekalian dia bisa dapat pekerjaan di sana, Wok, minimal biaya hidup dia di rantau.”
“Paling di industri. Bekas tempatku kerja. Penanggung jawab personalia di situ cukup murah hati. Ya mudah-mudahan kalau sekarang kuhubungi masih begitu. Dulu aku bagian pengemasan buat divisi produk breaded shrimp-nya. Kasie-nya masih orang yang sama sampai sekarang yang kalau di luar kantor langsung ganti rupa jadi kawan minum angkor tong yang berani melanglangi malam sampai puncak larut.”
Pekerjaan apa saja asal halal kalau buat dia. Ujar Kouta tampak antusias. Padahal sebenarnya ia baru dengar kata halal begitu masuk Pascasarjana Unsri, empat tahun lalu, tapi seolah-olah dialah yang wajib kerja dan makan halal dalam kasus ini. “Cukup seimbang juga sama S1 dia.”
“Kemungkinan Salindri ambil alih jabatanku dulu. Kasie yang gampang ganti rupa jadi kawan itu sudah pernah kukontak sebelum pertemuan ini, kata dia anak pengemasan yang sekarang lebih bakat membanjiri kemasan olahan udang dengan ilustrasi yang lahir dari jiwanya yang senantiasa kelewat nyeni untuk ukuran anak industri. Hei, Sal, kamu anak pengolahan pasca panen perikanan kan?”
Brewok, yang bernama asli Radityo, berpaling ke Salindri dengan mata penuh binar yang dapat diterjemahkan sebagai Akhirnya ada juga yang sama-sama alumni perikanan.
Sepertinya dia senang sekali ketemu orang yang satu latar belakang ilmu. Saat ini Brewok sendiri sedang aktif kuliah dan sudah bertunangan. Mau menikahnya kalau sudah beken lantaran menyandang status dosen. Biar seperti Kouta, alasannya, yang langsung dibantah Kouta kalau dia cuma dosen honorer. Antara Kouta dan Brewok, mereka bukan kenal langsung tapi dikenalkan oleh dosen si guru besarnya Kouta. Teman Jepangnya Salindri itu mengaku sempat heran guru besar ilmu sosial kok kenalannya mahasiswa S2 Teknologi Pangan. Dan karena Kouta tahu Brewok ini agak peminum, kadang-kadang dia curiga jangan-jangan guru besarnya juga doyan sama yang angkor-angkoran dan kawan mojoknya si Brewok. Namun cepat-cepat ia tepis prasangka itu demi kesetiaan ke guru besarnya. Kalau dipikir-pikir juga, rentang usia si guru besar sama Brewok ya jauh berbeda, masak iya mereka teman mojok macam dia dan Tendri kalau ke kedai kopi.
“Satu-satunya anak semester 5 yang paper ilustrasi modifikasi kemasan pempek tujuan konsumennya lolos kritik negatif pak dosen, di kuliah siang itu, delapan tahun lalu. Oh tapi gini, kalau memang harus selama yang diperkira sama Kouta tinggal di Kambojanya, kalau masih diberi kesempatan, aku ambil kerjaannya. Breaded product keahlianku kedua sesudah mikrobiologi perikanan.”
“Beres! Tapi balik ke jam perkuliahan tadi, orang yang sama kan ya dengan yang bikin selamat satu kelas dari ancaman kelas mikro yang gak bubar sampai ada yang tepat jawabnya atas pertanyaan pak dosen merujuk peranan spora bakteri dalam kerusakan ikan kaleng yang sudah lewati tahap retort di suhu bakteri paling thermal dalam kasus pengalengan ikan itu juga, kan?”
Orang Jepang yang mulutnya bocor familier juga tidak, ya dengan Clostridium botulinum. Sindir Salindri dekat kuping Kouta.
“Yang ini jangan dirayu. Pacarnya Tionghoa kaya, lho. Rumahnya saja empat tingkat ya jelas kaya tujuh turunan. Kalahlah kita.” Masih diingat Salindri bagaimana Kouta yang pada terik itu terdengar dengki tapi ikhlas. Ikhlas tapi miris. Miris, tapi tak urung soal tambah sebiji lagi kelapa muda pakai es batu banyak-banyak. Di kampungku sana tak ada pohon kelapa, jadi kelapa muda simpang dogan Sako tak ada obatnya kecuali nambah menimal sebutir lagi, kata dia.
Setelah mengakhiri nostalgia mereka, Kouta lantas terkenang sebuah kiriman email yang pernah ia baca sebelum memutuskan ke negara ini menemui karib perempuannya.
Pada suatu masa hidup sebatang pohon yang berakar senyum di wajahmu yang tak henti memaki-maki takdir.
Yang dalam seruannya ia berkata, “Harapanku remuk dibebat ditarik simpul matinya tercekikku patah-mematah tulang-belulang. Harapanku tuna wisma tiada lagi rumahnya pulang rumahku dikawinkan alam dengan sepasang alis yang lain. Harapanku diinjak-injak dua pasang tapak kaki berbahagia laki-laki itu wanita itu. Harapanku laut lepas mengambilnya termakan habis oleh garam maka demikian di sana pekuburannya. Himpit jiwaku pada antara kedip matamu sampai aku mati remuk dalam pelukmu.”
Menurutmu aku sebatang pohon itu kan?
“Biangnya lucu kau ini, Sal. Seratus persen mencintai siapa tapi mengaku mencintai siapa.” Celetuknya kemudian.
“Maksudmu?”
“Suratmu!” Kouta seolah menyuruh Salindri mengintip ke bawah bangku.
Tapi dia tak menulis surat di era mengetik dan serba sentuh ini, kecuali email-emailnya masuk kategori surat yang disebut dosen asal Saga itu. “Kau baca emailku!”
“Lewat teruskan pesan aku diajak masuk ke dalam bahasa kalian berdua. Muter-muter kepalaku lho. Ampun! Tapi diulang-ulang nangkep juga intinya sedikit. Pas dalam kuil memang kau ngeh nama siapa yang kau sebut-sebut? Nama kawan kuliahmu itu? Kedengarannya lebih ke nama kawanku.”
Meski Salindri senang Kouta menjenguknya ke negeri orang yang menyiapkan Angkor sebagai puncak keistimewaannya di mata dunia yang ternyata gula jawa itu lebih memujai kolam berbunga airnya namun bertemu pria Jepang ini lebih kepada makin menjadi-jadi membaurkan kenangan mengenai yang biasanya berada di antara mereka ke sekujur kerinduan milik Salindri.
“Kenapa seketika diam kau, Sal?”
“Aku mengirim email. Gak dibalas.”
“Paling-paling belum sempat. Tunggu sajalah.”
“Aku kirim banyak email. Gak dibalas.”