Kalau-kalau Kita Gila Suatu Kelak

Niskala A.
Chapter #11

11

Laki-laki berparas Tionghoa yang sesekali melempar pandang ke arah mereka dari tengah-tengah jembatan penghubung daratan dan gazebo beratap daun nipah yang sudah sangat lama kering hingga sewarna jerami di tengah kolam lotus yang luas ini mengingatkan pada kawan kuliahnya, Ariadna Salindri. Secakep gimana pun yang begitu saklek bukan tipeku, kata temannya itu dulu saat mereka saling guyon di kantin Fakultas Ekonomi sekelar mata kuliah Penilaian Indrawi. Cukup menarik buat diulik kenapa dia bisa bilang yang begitu bukanlah tipenya, pikir Rhanu waktu itu. Kalau boleh jujur pada si teman, lebih senang ia memanggilnya Adna. Sampai kapanpun dia Adna meski usainya perkuliahan membuat perempuan tersebut menyuruhnya memanggilnya berbeda. Rhanu mengingat bagaimana ketika ia bertemu Adna yang diketahuinya dari seorang dosen pembimbing bahwa temannya itu nampaknya menyusul ke mari, dan lega seketika dapat melihat juga satu dewi yang terjeda bertahun-tahun darinya, yang di malam silau kali itu dilabuhkan sampannya ke tambatan tempat Rhanu seribu dua ratus delapan puluh empat kali mencoba bertemu dengan menunggu begitu tahu temannya itu datang pula ke negeri ini. Cara berpakaiannya rapuh, serapuh sorot pandang yang serupa dengan si gadis pemalu dulu itu, selentik kelopak-kelopak lotus putih yang memang dirinya, kagum Rhanu saat bertemu.

Ia tak pernah berpikir tak menghargai kejutan hari ulang tahunnya yang ke 20 pada masa-masa paling bersemi dalam perkuliahannya sepulang mereka mengadakan sepuluh hari tur ke luar Sumatera, menghabiskan sepanjang Pulau Jawa, menciumi asap dupa Bali. Ia paham perempuan itu sudah banyak membantunya tanpa memperlihatkan tanda-tanda meminta pamrih. Ia tahu perempuan itu banyak berkorban baginya, terutama serpih demi serpih penyusun ketahanan hatinya terhadap sikap acuh tak acuh ia ketika zaman-zaman ngampus dulu. Untunglah seingatnya ia cukup ramah menerima selamat atas hari diwisudanya dirinya dan sekuntum mawar putih berkarang aster yang nampaknya tanda perdamaian atas kesenggangan di antara keduanya selama dua tahun setelah ia mengetahui perasaan gadis mahasiswi teman angkatannya itu.

Wangi bunga yang di atas air masih mempertenangkan jiwanya yang gemar melayang-layang mengatasi tubuh fisiknya yang sekarang menurutnya pun lebih kurus sedikit dibanding saat masih beristri. Jelas. Mana ada lelaki masih enak dilihat kalau tak beristri lagi. Namun perempuan itu, yang tetap belum menikah itu, mungkin demi dirinya. Mungkin. Bukankah tak akan sampai hati memperkarakan fisiknya mau bagaimana bentuk pun dia. Bahkan cacat. Bahkan mandul.

Jelas. Secacat-cacatnya laki-laki asal bisa memberi anak masih juga berharga. Jelas. Sebagus-bagusnya laki-laki tapi mandul apa bedanya dari sampah. Jelas cuma ini yang ada dalam pandangan hidupnya sejak diceraikan seorang istri yang tentu saja amat mencintainya namun realistis. Dan syukurlah cinta gadis teman kuliahnya itu tak ikut-ikutan realistis seperti mantan istrinya yang jelita.

Teringat dia Adna menyampaikan perasaan yang entah datang dari mana ketika tak biasanya mereka hanya duduk berdua menghadap nasi pindang dalam piring masing-masing di bawah hujan daun layu yang tonggak pohon-pohonnya memayungi meja-meja kantin fakultas orang yang jadi langganan anak-anak jurusan Teknologi Hasil Perikanan yang gedung kuliahnya jauh terpisah dari fakultas sendiri dan malah bersebelahan dengan Fakultas Ekonomi dan kantin mereka. Datang dari manakah isi hati Adna ini, pikirnya mustahil. Sebenarnya saat itu dia agak suka juga dengan mahasiswi pemalu yang manis muka dan tabiatnya ini tapi bukankah hanya di garis batas pertemanan yang enak mengobrol bersama atau berkelakar di sela-sela peluh penelitian laboratorium dan penat materi perkuliahan. Karena juga ada Larasita, mahasiswi Agribisnis adik tingkat mereka yang akhir-akhir ini selalu dikiriminya pesan mengajak pulang bareng ke Kayuagung walau kerap masih ditolak dengan macam-macam alasan namun ia bersumpah tidak bakal kalah oleh penolakan itu. Dan masa depan membawanya pada situasi yang memang tidak dikalahkan penolakan awal pendekatan.

Diperhatikannya Adna diam terus. Pandangannya ke arah laki-laki di tengah jembatan yang memegang dan menatap ponsel. Tapi Rhanu merasa tak perlu menanyai mengapa tujuan mata wanita itu ke sana terus seolah tak berkedip. Atau jangan-jangan dia sedang teringat juga dengan guyonan selepas MK Penilaian Indrawi waktu itu. “Apalagi ini namanya, kalau bukan rasa bersalah? Pengorbananmu aku paham tapi kuidam-idamkan orang yang sekarang menepis aku begitu tahu fisikku kurang. Perhatianmu sedalam nada isak ibuku waktu dia terima kenyataan aku tak diingini istriku lagi, tapi percintaanku kunyatakan ke orang yang menjadi jandaku atas maunya sendiri. Matamu menyayangi, kentara atau curi pandang yang diam-diam sebenarnya kusadari. Buta aku tak tergugah dulu, menyesal aku membuat perempuan yang membicarakan perasaan lebih dulu.” Cara bicara Rhanu semacam mengawali sesuatu maksud.

 

Pepohonan berakar senyumku? Benar begitu?

Disiramkannya racun ke inti-inti selmu mengapa kenangannya mengeras terubah ujud jadi keabadian tak cukupkah kau mati kepada lautan agar musnah pula dirinya dari dalam nukleusmu.

Aku ini pengganti?

Tempat melarikan diri?

Lihat selengkapnya