“Kau lotus putih, Ad. Di antara ribuan yang merah jambu. Yang banyak-banyak itu cantik luar biasa, memaku mata, memalu hati. Tapi kau sendirian, tak berusaha mencolok. Murni.”
“Kau pun angin, Rhan. Berembus ke segala penjuruku, menerpa aku. Tapi tak mau pergi lagi.”
Yang seandainya perbincangan kedua orang itu benar-benar pernah ada. Ia akan tidur dalam angin itu, pikir Salindri saat pasrah Rhanu tetap melintasinya tanpa minat. Pun juga mau muntah membayangkan kegombalan perbincangan sepasang kampret dalam kepalanya.
Ditatapnya orang di sampingnya dengan guratan mengadu di muka. “Orang itu selepas angin, geraknya oleh kemauan, bukan desakan. Apa yang ditinggalkannya di belakang, tak pernah ditolehi. Martabatnya setinggi Everest, bikin orang menengadah sambil bergidik, sekaligus tampil agung. Dirinya ditunggu juga dihindari, sepi tanpanya tapi orang kesal oleh ketusnya, kalau dia sudah terus terang mulut orang bungkam. Coba, mana ada seseorang sanggup mencintai temannya layaknya mencintai kapal yang dilepas berlayar dan entah kapan kembali, kecuali aku yang cinta ke Rhanu itu. Mana ada yang menontoni tanding sepak bola temannya seperti menyaksikan seluruh hidupnya tertendang ke sana-ke mari, kecuali aku yang sedang nonton dia main sepak bola antar tim prodi. Cuma aku yang lahap makan gorengan bakwan rasa micinnya yang setengah gosong, cuma hatiku yang tersenyum dikatainya ‘tai’. Iya, hampir setiap ketemu di mata kuliah aku dipanggilnya ‘tai’. Cuma aku yang akan tetap bersama-sama dia sekalipun dia jadi cacat atau lumpuh tua. Tapi coba lihat dia!”
“Sejak kapan sih kau jatuh hati tersungkur mampus begitu ke dia?” Kata orang di sampingnya.
“Satu angkatan, kami rentang baris pertemanan yang sepertinya bakal abadi. Kami pikir. Walau Ayak dan Inun tak mau ikut demi langkah-langkah selu mereka memberi jejak di pasir putih berkawan petangnya laut. Biar Ida dan Shella lebih pilih mengapar di pasir diserbu ujung ombak. Walau Ulil, Wahyu, Ivan lebih senang berenang sampai ketelan-telan air asin daripada ikut foto. Tapi digenggamnya tanganku dua kali. Tanpa maksud apa-apa kecuali demi potret kenangan kami seangkatan yang diwakili setengah dari anggota rombongan. Butuh satu siang saja buat aku mencintai. Cuma butuh pemandangan dalam laju bus yang bersama kami tumpangi. Cuma ingin dia aku dalam hidupku, dia ingin yang kecuali aku. Persis seperti kami yang seumur hidup tak akan pernah lagi berjalan bersisian layaknya di jalan menurun Gunung Tangkuban Parahu.”
“Ya sudah biar dia, Sal, sudah biarkan.” Di bagian pangkal tangga besar yang hilir mudik dilewati mahasiswa program studi yang bernaung pada gedung yang menyatu dengan perpustakaan utama ini Salindri yang saat itu berjalan di belakang kerumunan kawan-kawan seangkatannya merasa Tendri sengaja berdiri di sini entah sudah selama apa hanya untuk berbicara begini saat mencegat si gula jawa yang semuram langit penghujung Desember.
“Biar bagaimana, Ten?” Tanyanya yang semula sengaja berhenti di sebelah Tendri yang kalau bicara pasti tersenyum tanggung. “Kau berpikir aku berjalan di belakang Rhanu berarti aku mengikuti Rhanu?”
“Siapa yang kau ikuti?”
“Bisa jadi, ikan paus yang bukan ikan itu.”
“Makin ke sini makin aman kalau kita cuma menyebut ritual fang tea, Sal, sama prosedur lempar bunga omong kosong yang sebenarnya cuma sesi bagi-bagi hadiah biar seolah pesta jadi meriah, dan makanya buang-buang waktuku kalau harus kuawasi juga. Sekalian kasus penipuan WO ke sepasang pengantin pilu waktu itu. Lingkup risaunya cukup berputar-putar di situ.”
“Jawab aku, Ten, biarkan dia yang bagaimana maksudmu tadi?”
“Biar dia keluar dari seluk-beluk labirin yang kau bangun. Kelak kau hidup buat kedua kalinya sebagai sebatang pohon yang berakar senyum dimukaku. Kelak di kolam itu aku terbentuk atas tulang-belulang daging yang berjiwa yang meminta menjadi sekarang. Di kolam aku berada, Sal, terapung-apung menantimu.”