“Kasihan Saloma kecil,” ucap Saloma besar pada pantulan dirinya di cermin sambil menunjuk dinding. Ada foto Saloma kecil menempel di situ.
“Hampir setiap hari dia bersembunyi di goa. Takut-takut Monster datang. Monster yang selalu meneriaki dan semburkan racun ke seluruh otaknya. Tundukkan Saloma kecil dengan laser merah dari mata si Monster. Padahal Saloma kecil saat itu sedang tidak baik-baik saja. Setiap hari harus membela diri sendiri agar Monster tidak semakin mengaum. Itu karena ia sudah tidak kuat lagi mendengar auman itu. Saloma kecil benar-benar butuh bantuan jernihkan lagi telinga dan isi kepala yang penuh dengan kalimat-kalimat kotor, teriakan, bentakan dan auman.”
“Saloma kecil adalah kecil. Dia tidak harus sempurna untuk jadi anak kecil. Dia tidak layak mendengar ‘auman’ setiap hari. Sedangkan Saloma kecil belum tahu tentang dunia. Terpaksa, ia habiskan umur mudanya dengan ketakutan, kekhawatiran, dan tidak berdaya tanpa pemahaman. Dia disalahpahami. Selalu. Malah dituntut untuk memahami. Tak ada jalan keluar lain selain berlindung di goa, berusaha untuk tidak terpengaruh apa pun untuk selamatkan hatinya yang luka.”
“Monster itu dan 4 pengikutnya telah hancurkan Saloma kecil. Mengabaikan sebegitu dalam, bertahun-tahun sampai hatinya tawar. 4 pengikut monster itu mencari aman mereka sendiri. Membiarkan Saloma kecil bertarung sendiri melawan Monster. Oh, iya, kan…mereka pengikut Monster. Jadi, sia-sia juga berharap seperti itu. Lagian, 5 pengikut Monster itu dilarang berbicara kepada Saloma kecil. Jadi, bagaimana caranya dia mau meminta pertolongan?”
“Kenapa begitu?” Saloma berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan tiba-tiba dari Saloma di dalam cermin. Ada ragu di dalam percik mata apakah Saloma yang ada di dalam cermin adalah orang yang dapat dipercaya untuk cerita ini? Saloma yang di dalam cermin itu apakah sudah sekuat dirinya untuk bisa menerima kenyataan pahit masa kecilnya?
“Jadi, sebenarnya dulu Monster itu pernah menyuruh 5 pengikutnya untuk tidak lagi berbicara pada Saloma kecil. Waktu itu Saloma kecil yang masih sekolah di kelas 6 SD sedang bertengkar dengan salah satu pengikut Monster yang paling kecil. Sebut saja namanya Helder. Mereka bertengkar dan kejar-kejaran sampai ke dapur tempat Monster sedang memasak makan malam. Lalu.…” Saloma berhenti lagi memandang ragu pada pantulan dirinya di cermin.
“Lalu?” tanya pantulan itu tak sabar.
“Begini…apakah kamu yakin sudah kuat mendengar awal mula dari kesunyian ini terjadi?”
“Kita sudah menderita sejauh ini. Aku sudah putuskan untuk kuat. Kehancuran setelah ini aku akan atasi nanti saja. Cepatlah ceritakan.”
“Baiklah. Lalu…Saloma tidak tahu masalah apa yang monster itu sedang hadapi saat itu, karena sepertinya setiap hari Monster selalu saja murung dan marah. Namun kali itu Monster kesal karena Helder yang berlindung di balik badannya, menghindari cubitan Saloma kecil, menyikut perut dan membuat monster hampir menjatuhkan bumbu dari tangannya.”
“Monster yang saat itu sedang mengaduk makanan di wajan pun marah lalu berkata,”
Ribut kalilah kalian ini. Nggak kalian liat aku lagi sibuk masak, hah? Kau Saloma, udah besar tapi kenapa nggak mau ngalah sama adeknya? Memang nggak ada kutengok inisiatifmu bantu-bantu apa kek di sini, dari pada ribut-ribut terus. Kau perempuan tapi nggak malu kau liat mamakmu kerja sendirian. Anak boru apalah kau ini berkelahi terus sama adeknya. Nggak si Helder, Werbar, Bilond, Nonam, malah sama abangmu yang paling besar pun, si Benven, berkelahi semua samamu. Malulah kau harusnya, kau itu perempuan, loh. Semua abang-abangmu, adek-adekmu, laki-laki semua tapi kau lawan. Semua berantam samamu. Nggak akrab samamu. Holan na marbadai tu ho hu bereng. Perempuan itu harus lembut, nggak keras, si kepala batu kaya kau itu.
“Seperti biasa…jiwa perempuan natural Saloma selalu dikucilkan, dimatikan dan tidak dianggap ada. Saloma selalu dipaksa jadi perempuan sempurna menurut si Monster. Padahal yang Saloma kecil berumur 11 tahun ingin, hanyalah bermain dengan saudara-saudaranya. Dalam permainan wajar sekali ada pertengkaran, bukan?”