Patah semangat pertama Saloma sebenarnya terjadi ketika kakak perempuan tirinya, Mona, pindah ke rumah oppungnya di kampung. Mona adalah anak perempuan istri pertama ayah Saloma. Ibu Mona meninggal karena gagal ginjal. Mona memutuskan ikut ayahnya, sementara Daola, kakak laki-laki Mona, lebih memilih tinggal bersama oppung mereka di kampung.
Berawal dari kabar meninggalnya oppung doli Saloma di sore hari tenang. Saloma masih kecil, masih belum sekolah saat itu. Suara dari ponsel nokia 5110 biru dengan anthena khasnya terjatuh dari pegangan Ayah Saloma kala dengar kabar duka. Dia menekan dada lalu hampir saja ambruk. Beberapa detik kemudian suara tangis pecah penuhi ruang tamu. Saloma dan semua saudaranya berkerumun, tidak hanya menangis saja namun terkejut. Terkejut melihat beliau menangis kencang menggelegar sambil memanggil-manggil oppung doli Saloma. Ayah Saloma yang selama ini minim bicara, menangis histeris di depan mereka. Mona tiba-tiba datang dari belakang kerumunan lalu ikut memeluk bersama dengan ibu Saloma. Di sana mereka menangis bersama.
Tak menunggu lama, Ibu Saloma segera menyiapkan pakaian untuk ayahnya berangkat ke kampung hari itu juga. Mona dari kamarnya menangis tersedu-sedu sambil mengucapkan, “Ikkon dohot do au. Ikkon do dohot au. Oppungku naburju na lagu (Harus ikut aku. Harus ikut aku. Oppungku yang baik.),” ucapnya di sela-sela tangis.
Saloma terduduk lemas di lantai sudut kamar melihat Mona memasukkan baju-baju ke dalam tas besar. Saloma tidak ingat apakah dirinya menangis saat itu, namun sesak di dada hingga dewasa pun masih terbawa. Firasatnya tidak enak.
Saat ini, saat sudah dewasa ini, barulah Saloma paham arti gelisahnya. Itu adalah rasa sedih karena harus berpisah dari seseorang. Rasa sesak saat kita tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikan seseorang itu pergi. Benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk menahannya agar tidak pergi. Saloma yakin tidak menangis saat itu. Hanya terdiam dengan sesak di dada yang setelah sekian puluh tahun akhirnya bisa dia terjemahkan artinya. Saat ini, di sini, di buku ini, akhirnya sesak itu pun keluar melalui rangkaian kata, mengikis perih yang masih bersemayam.
***
Di tahun yang sama, saat mereka berlibur tahun baruan ke sana, ke rumah oppungnya, untuk kesekian kalinya ibu Saloma meminta Mona kembali pulang. Dia selipkan uang ke dalam kantong Mona untuk ongkos pulang. Saloma sangat senang dengan ide itu. Ia membayangkan kakaknya akan pulang karena ongkos itu lebih dari cukup.