06 April 2023
Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini kunyanyikan
Hanya untuk ayahku yang paling tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan
Sudah enam tahun berlalu sejak ayahnya meninggal barulah Saloma menemukan lagu Kerispatih berjudul Rindu. Tepatnya di semester empat, saat tak sengaja mendengar dari radio. Lagu itu jadi soundtrack kala sedih datang begitu kenangan bersama ayahnya muncul. Selama masa kuliah, lagu Rindu jadi pengiring air mata untuk ayahnya.
Ada banyak rasa bersalah dan penyesalan di dalam kenangan itu.
“Sudah pulang kau boru?” ucap ayahnya dulu saat masih SMP kelas dua.
Saloma hanya menjawab sekedarnya saja dan langsung masuk ke dalam kamar, benteng perlindungannya dari serangan Monster. Itu adalah salah satu penyesalan Saloma. Kalau tahu ayahnya akan pergi untuk selamanya, sapaan-sapaan ayahnya akan dia jawab dengan baik dan penuh gembira, jadi moment bahagia untuk dikenang. Namun waktu tak bisa diputar kembali.
Sejujurnya, di mata Saloma remaja, hanya ayahnyalah satu-satunya orang di rumah yang benar-benar manusia dan menganggap Saloma juga manusia. Di saat Monster dan para pengikutnya memutus benang komunikasi, hanya ayahnya yang masih mengajak berbicara. Walau hanya sekedar sapaan dan sangat jarang, karena ayahnya sangat sibuk mencari nafkah dan mengurusi adat.
Ayahnya adalah salah satu orang yang dituakan dan dihormati di kampung dan di organisasi marga. Pengetahuan ayahnya tentang adat istiadat Batak, membuatnya sering kali dipanggil ke pesta-pesta adat untuk jadi pembicara dan penasihat pesta. Jika sesuatu terjadi di lingkungan rumah mereka, misalnya, ada warga yang berkelahi, ayahnya juga selalu dipanggil untuk mendamaikan. Namun, entahlah mengapa sepertinya ayahnya tidak bisa mendamaikan utuh suasana di rumah mereka sendiri.
Memang, beberapa kali di beberapa malam tahun baru, saat acara keluarga mandok hata, ada gencatan senjata antara Saloma remaja, Monster dan pengikutnya. Gencatan senjata itu dipimpin oleh ayahnya, dimana Saloma remaja dan para musuhnya saling mengakui kesalahan dan mengikrarkan janji damai, lalu ditutup dengan jabatan tangan. Doa ayahnya di akhir acara jadi surat perjanjian tidak tertulis perdamaian.
Namun, entah kenapa, keadaan setelah perdamaian selalu jadi lebih sensitif dari biasanya. Khususnya bagi para pengikut monster dan monster itu sendiri. Kesalahan sekecil apapun, walau itu hanya menyinggung perasaan dari ucapan yang tidak disengaja, perang dingin kembali berkobar. Setelah perdebatan kecil, Saloma remaja kembali mereka lempar ke dalam the well of silence. Sekuat tenaga Saloma keluar dari sumur itu untuk berdamai, tak ada tanggapan dari mereka. Satu-satunya cara Saloma menghadapi hanyalah kembali mengurung diri di benteng pertahanan yang semakin hari semakin tinggi dan tebal.
Mungkin, karena situasi perdamaian yang kembali gagal beberapa kali, ayah Saloma pun menyerah dan membiarkan saja. Saloma remaja tidak menganggap acuh tak acuh ayahnya hal serius, karena di matanya, ayahnya adalah pahlawan hebat. Orang satu-satunya yang masih menganggap dia ada di dunia ini. Bagi Saloma remaja, itu sudah lebih dari cukup. Tak sadar, ternyata itu adalah wujud dari ungkapan 'sandaran hidup'.
***
Hidup Saloma remaja masih berjalan dengan baik karena ayahnya. Rangking di sekolah tidak pernah keluar dari tiga besar kelas juga paralel. Seharusnya itu akan membuat orang tua mana pun bahagia dan bangga ketika mengambil rapor anaknya ke sekolah.
“Memangnya kita pernah diapresiasi oleh si Monster dan Bapak?” tanya Saloma dewasa memotong narasi suara-suara di kepala, pada foto Saloma remaja yang berdiri menghias meja belajar.
Lama tak ada jawaban, Saloma dewasa hendak memukul-mukul penggaris plastik ke kepalanya saat foto itu kemudian bergerak. Saloma remaja di foto itu mengalihkan wajahnya pada Saloma dewasa.
“Bapak cuma pernah sekali saja mengambil rapor kita…” ucap foto itu.
Saloma dewasa meletakkan penggaris sambil tersenyum senang. Akhirnya ada yang bisa dia ajak berbicara lagi.
Ia pun fokus mengarahkan tubuh dan perhatiannya pada foto dan berkata, “Itu juga waktu kelas 1 SMP. Saat itu kita mengecewakan bapak karena guru kelas kita mengatakan begini, Saloma ini sebenarnya layak sekali jadi juara dua atau tiga, Pak. Masalahnya hanya di absensi saja makanya dia jadi juara empat. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan Saloma nilai terbaik, tapi sekali pun dia pintar dalam pelajaran, absensi tetap jadi salah satu faktor penilaian juga. Itulah kira-kira yang diucapkan guru wali kelas, tepat di hadapa kita dan bapak. Di perjalanan pulang, bapak tidak menjudge walau dia tahu dari antara semua anaknya, hanya kita yang tidak pernah merasakan rangking tiga besar sejak SD. Malah bapak mengajak makan mie ayam di warung mie ayam paling enak di kota, di….”
“Mie Ayam Moel,” ucap Saloma dewasa dan remaja serentak lalu tertawa.
“Itu kenangan paling indah banget.” Saloma dewasa sumringah bukan main mengingat kenangan itu.
“Iya, tapi tetap sih ada rasa bersalah dalam hati. Andai saja dapat rangking tigalah minimal, pasti senyum bapak waktu itu lebih bahagia lagi. Mulai dari situlah kita bertekad harus mendapatkan rangking tiga paling maksimal, supaya tidak lagi mengecewakan satu-satunya manusia yang masih menganggap kita manusia.”
“Tapi setelahnya….”
“Setelahnya, bapak tidak lagi pernah mengambil rapor kita karena sibuk. Sibuk mencari nafkah dan mengurus adat istiadat ke sana ke mari. Rangking satu kelas dan paralel kita dapatkan berturut-turut tiga kali sampai kelas dua SMP. Lalu, tahun berikutnya, turun jadi rangking tiga, dua kali berturut-turut sampai lulus SMP. Kamu tahu kenapa rangking kita turun drastis?”
“Tahu.”