Saloma terlahir dari keluarga kristen protestan. Mulai kecil Saloma sudah diajarkan untuk bergereja setiap hari Minggu. Ayah dan ibunya sangat rajin beribadah dan bergabung dengan grup koor gereja. Sekali dalam beberapa bulan rumah keluarga Saloma jadi tempat beribadah para jemaat yang disebut partangiangan. Acara ibadah yang diadakan pada malam hari dengan menyanyikan lagu-lagu dari buku ende bersama, membaca Alkitab secara responsoria, mendengarkan khotbah pendeta, mengumpulkan kolekte dan diakhiri dengan makan hidangan cemilan malam sambil berdiskusi seputar kehidupan sehari-hari. Tidak jauh beda dengan ibadah di Gereja. Bedanya, tempat beribadahnya di rumah-rumah warga yang mendapatkan jadwal sesuai giliran yang telah ditentukan. Susunan acara juga lebih ringkas dan peserta ibadahnya lebih sedikit, menurut wilayah tempat tinggal masing-masing.
Jika giliran rumah keluarga Saloma yang jadi tempat partangiangan, maka mau tidak mau sore harinya sofa, meja dan barang-barang di ruang tamu akan dipindahkan terlebih dahulu ke ruang tengah rumah. Lantai disapu dan pel bersih. Begitu juga dengan lemari, lukisan dan bunga pajangan serta dinding-dinding akan dibersihkan juga. Ibu Saloma akan sibuk memesan makanan jika sedang tidak ada uang atau tenaga memasak makanan cemilan malam. Ayah Saloma sibuk mengkoordinasikan anak-anaknya untuk merapikan barang-barang.
Di awal peperangan, Saloma masih ikut membantu membereskan rumah atau membantu memasak makanan. Di saat-saat partangiangan, monster akan membuka pintu bicara dengan menyuruh ini itu. Terutama saat partangiangan berlangsung. Di mata Saloma, aura monster ibunya seperti hilang berubah jadi manusia paling lembut, pemalu dan berbahasa halus. Sorot matanya tidak lagi mengeluarkan laser merah tajam, mimik wajahnya tidak mengeras dan malah pernah tangan Saloma dielus-elus lembut kala mengantuk dengar khotbah pendeta. Walau bagi Saloma janggal, tapi setidaknya ada jeda dalam harinya, mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari ketakutan juga was-was diri.
Komplek Gereja yang berada di belakang rumah keluarga Saloma, jadi tempat bermain Saloma dan teman-teman di sekitar rumahnya. Memanjat pohon yang ada di halaman gereja dan duduk di dahan sambil ngemil kerupuk jangek atau es lilin kacang hijau. Di dalam komplek gereja ada dua bangunan gereja berdiri. Satu bangunan besar, tembok semen dan berhiaskan pohon cemara gemuk di kiri dan kanan. Di sana biasanya ibadah gereja khusus muda-mudi berbahasa Indonesia dan dewasa berbahasa Batak diadakan.
Satu lagi ada di depan sebelah kiri gereja besar, dekat dengan tembok komplek gereja. Bangunannya berdinding kayu, berlantai semen dan isinya tidak selengkap gereja besar. Di gereja kayu itulah ibadah anak kecil atau Sekolah Minggu diadakan. Biasanya anak-anak yang tadinya beribadah di gereja kayu, ketika sudah memasuki SMP, akan pindah beribadah ke gereja besar dan bergabung dengan Perkumpulan Muda Mudi.
Ketika masih bergereja di gereja kayulah hidup Saloma masih bahagia dan senang. Belum ada peperangan batin. Beribadah di gereja kayu adalah salah satu kenangan bahagia masa kecilnya. Begitu perang berkobar, belum sempat pindah ke gereja besar, Saloma jadi jarang beribadah ke gereja kayu. Bermain ke komplek gereja pun sudah berhenti total. Sebab, biasanya dia beribadah dan bermain ke kompek gereja bersama saudara-saudaranya. Setelah peperangan, waktunya banyak dihabiskan di dalam benteng pertahanan.
Memasuki SMP, Saloma terpaksa harus hadir kembali ke gereja karena guru pelajaran agama di sekolah mengharuskan mengisi Buku Kebaktian dan meminta tanda tangan serta stempel gereja.
“Waktu itu aku bingung, karena aku tidak punya teman ke gereja lagi. Kau sendiri jarang sekali mau kuajak gereja. Bapakmu kebetulan adalah salah satu petugas stempel di kantor gereja, jadi kau bisa dengan mudah lolos sekalipun tidak ibadah.”
“Betul.”
Saloma dan temannya Martina, tetangga masa kecil belakang rumahnya, tertawa ringan.
“Tapi aku penasaran kenapa semenjak kita kelas enam SD kau tidak pernah lagi kelihatan beribadah. Bahkan kuajak bermain ke lapangan gereja juga sudah tidak pernah mau lagi. Beberapa kali aku menarik tanganmu supaya keluar dari kamarmu, tetap saja yang ada kau memarahiku habis-habisan dan mendorongku agar keluar. Kau waktu itu jadi sangat aneh dan asing.”
“Banyak hal yang terjadilah pokoknya.”
“Kenapa kau tidak cerita saja waktu itu?”
“Kau ingat tidak, kau dan teman-teman yang lain pernah mengejekku Banteng karena aku gampang marah?”
“Itu kan ejekan yang dilontarkan oleh saudara-saudaramu, makanya aku dan yang lainya jadi ikut-ikutan memanggilmu begitu.”
“Iya, tapi bahkan di kelas pun kau mengejekku begitu. Sehingga teman-teman kelas yang lain, yang jarang bermain denganku di luar sekolah, ikut-ikutan memanggilku Banteng.”
“Sejujurnya itu kan normal, saling mengejek antar teman.”
“Kau tidak tahu apa yang terjadi padaku sehingga itu tidak normal bagiku.”
“Jadi karna itu kau tidak mau cerita padaku? Sekali pun kita sudah sering beli kerupuk jangek dengan memakai uang kita bersama?”
“Iya.”
“Artinya kepercayaanmu padaku hilang begitu?”
“Iya.”
“Baiklah.”
“Kau juga ingat tidak, kau dan yang lainnya pernah masuk ke kamarku dan di sana kita banyak melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak sekecil kita?”
“Hei itu sudah berlalu sangat lama.”