“Sal, nambah nasinya. Masih banyak ini,” logat jawa Anjani medok sekali kala ia menyodorkan lagi nasi, pada Saloma yang duduk dalam damai memakan nasi berkuah sop bening dan satu paha ayam di sudut dekat televisi. Saloma mengangguk sambil menyengir saja. Sebenarnya di dalam hati dia sangat ingin menambahkan kuah gulai, paha atas dan kentang yang ada di baskom gulai ayam. Namun, terlalu malu rasanya untuk meminta, tidak enakan juga karena dirinya tidak ada membantu memasak ayam gulai itu. Dia hanya membantu mengiris bawang dan membelikan minyak goreng ke warung.
Sepulang dari praktek kelompok mengajar ke salah satu SMA di dekat kampus, Saloma dan 5 teman kelompoknya yang lain, bancakan di rumah Anjani. Dari antara mereka hanya dengan Anjanilah dia dekat makanya dia mau ikut ke rumahnya. Kalau tidak, Saloma lebih suka kembali ke kosan, tidur sambil mendengarkan lagu sampai malam, bangun dan mandi lalu tidur lagi.
Meski sudah tiga tahun keluar dari sarang Monster, berada di pulau yang jauh dari mereka, entah kenapa Saloma masih betah berlama-lama di dalam kamar, padahal tidak ada marabahaya dan auman-auman Monster di kosan. Alarm dalam kepalanya pun sudah lama tidak berbunyi. Padahal dulu ketika masih di rumah, begitu suara kaki Monster terdengar, alarm dalam kepalanya berbunyi kencang, membangunkan was-was, mendengar baik-baik suara-suara dari luar benteng untuk mengetahui apa yang sedang Monster dan pengikutnya lakukan. Begitu auman lengkingan dan nada marah terdengar, Saloma akan segera menutup telinga dengan tangan, dengan bantal jika masih tak mempan.
“Ada yang masih mau bumbu gulainya nggak, guys?” Tanya Roba sambil mengangkat wadah plastik tempat ayam gulai.
Saloma melihat sebentar wadah itu lalu menggelengkan kepala seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain dan lanjut makan. Dalam setiap kunyahannya, ada sesal tak terbahasakan mengapa harus menggeleng kepala. Nasi pucat yang semakin pucat disiram kuah sop ayam di piringnya sangat tidak memancing selera, namun dia tetap saja berpura-pura menikmati. Nasinya pun hanya sedikit, padahal bisa saja dua atau tiga centong lagi muat ke dalam piring, dan akan lebih banyak lagi muat ke dalam perutnya.
Roba pun menuangkan seluruh kuah gulai ke atas nasi yang baru dia tambahkan ke piringnya. Seluruhnya dia tuang, tertangkap dari sudut mata Saloma. Shania dan Kamala menggoda Roba dengan kata-kata rakus. Roba yang tubuhnya sudah gemuk, 65 kg katanya, tidak menghiraukan dan malah menggaruk-garuk lehernya balas mengejek mereka berdua.
“Kamu lagi diet, Sal?” Tanya Irapanusa yang duduk di samping Saloma tiba-tiba.
“Enggak.” Jawab Saloma sigap.
“Mau diet apa lagi udah kurus gitu, Ra.” Kamala menimpali.
“Tapi nasimu sangat sedikit itu. Pucat lagi. Kau selera makan makanan tidak berwarna itu?”
“Lagi nggak selera makan. Tadi makan banyak lupis sama cenil di sekolah.”
Mereka semua ber O serentak dan usailah sudah pertanyaan yang sangat tidak nyaman itu. Setelahnya Saloma semakin berpura-pura tidak selera makan dengan hanya menjumput sedikit nasi dan ayam. Sebentar-sebentar dia berhenti, meletakkan piringnya ke atas tikar plastik dan melambatkan kunyahannya sambil menonton TV, agar teman-temannya semakin yakin dia benar-benar tidak selera makan.
Pembicaraan mereka pun beralih membahas guru-guru yang sanagt jutek dan acuh tak acuh pada mereka. Roba menimpali sesekali dengan mulut yang masih mengunyah, Saloma di sudut tikar menahan jijik melihat kunyahan makanan masih menempel di langit-langit mulut dan giginya setiap kali berbicara. Sungguh sangat disayangkan bumbu gulai yang sangat menggoda itu jadi terlihat menjijikkan di mulut Roba, pikir Saloma.