Ada lubang gelap berdiameter lumayan besar muncul di lantai kamar Saloma. Sehabis membersihkan diri dari kamar mandi, Saloma terkejut dan hampir saja jatuh ke dalam lubang yang tepat berada di depan pintu kamar mandi. Titik titik air masih membasahi tubuhnya yang tidak berbalut kain sehelai pun dan kakinya gemetar. Handuk di kepalanya terjatuh ke dalam lubang itu dan dalam sepersekian detik sudah tak terlihat lagi, ditelan oleh pekatnya gelap.
Saloma mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari apakah ada orang lain yang sengaja membuat lubang di kamarnya. Namun yang berbeda dari kamarnya hanyalah tas kerja teronggok di sudut kasur, dan sepatu pantopel terjatuh dari rak sepatu yang membukit oleh pakaian kotor. Sayup-sayup lagu The Architect – Dooms Day masih terdengar, lagu itu memang sengaja dia putar dengan mode ulang, sebab mewakili suasana hatinya. Ia memijit-mijit keningnya yang mulai pusing, mungkin karena lelah dia jadi berhalusinasi. Hari ini di kantor memang sangat melelahkan. Beberapa hari setelah libur Idul Fitri, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Teman-temannya yang muslim banyak yang masih cuti, dan dengan senang hati Saloma membantu pekerjaan-pekerjaan mereka yang sekiranya bisa dia kerjakan. Toh, dia juga tidak berlibur ke mana-mana, isi dompetnya sudah menipis dalam sekejap setelah gajian.
“Halo…” suaranya menggema di dalam lubang pekat itu.
Dibunggukukannya lagi badannya agar bisa melihat jelas ke dalam lubang, tapi tak ada terlihat apa-apa.
“Haloooo,” teriaknya lagi.
Lutut Saloma terasa perih saat hendak bangkit dari lantai yang masih basah. Tak disangka-sangka ada dorongan kencang di punggungnya, yang membuatnya terjungkal masuk ke dalam lubang.
“Aaaaaa…” teriaknya menggapai-gapai angin, matanya menutup rapat. Jantungnya berdegup kencang seperti mimpi-mimpi terjatuh dari ketinggian yang beberapa kali dia rasakan. Mimpi itu biasanya sanggup membuatnya terbangung dengan nafas terengah-engah dan cemas.
Sudah beberapa menit dia berteriak menggapai-gapai namun tidak ada yang terasa menyentuh punggungnya, entah itu lantai, batu, duri, lava panas, atau apa pun yang jadi dasar lubang. Matanya terbuka perlahan dan tampaklah ia sedang berdiri di antara dinding-dinding cermin. Pantas saja terasa gelap sekali, ternyata dinding-dinding saling memantul dan menyerap gelap itu satu sama lain. Melihat dirinya yang belum berpakaian, Saloma langsung menutupi tubuhnya dengan tangan.
Tak lama kemudian sebuah pigura besar mengelilingi kanvas putih yang sama besarnya muncul di kejauhan. Kanvas itu berkedap-kedip seperti hendak memberitahukan sesuatu. Tak butuh waktu lama, sadarlah ia bahwa kedap-kedip itu adalah sandi morse. Sandi yang pernah ia pelajari kala duduk di bangku SMA, di ekskul Pramuka. Saloma pernah menjadi ketua Pramuka 2 tahun berturut-turut dan sandi itu sangat mudah tebaca olehnya.
Mendekat! Ada pesan untukmu. Begitulah pesan morse itu.
Saloma berjalan pelan, takut-takut ada sesuatu yang mengerikan muncul tiba-tiba, namun sandi morse tak mau berhenti memanggil-manggil. Begitu kaki kanannya menapak di tiga meter jarak dari kanvas, sebuah lukisan anak kecil menatap penuh emosi yang tak terbahasakan, muncul melingkupi seluruh permukaan kanvas putih.
“Imbalance…” ucap Saloma tanpa sadar.
Lukisan hiperrealis karya M. Fadhlil Abdi yang pernah mencuri hatinya kala berkunjung ke Bentang Budaya Yogyakarta tahun lalu itu, sempat masuk ke dalam mimpi begitu dia kembali ke hotel, tempatnya dan teman-teman satu kantornya yang lain menginap. Dalam mimpinya, anak kecil dalam lukisan itu mengucapkan banyak hal namun tak dapat Saloma dengar, malah semakin mendekat dan hendak menghimpit tubuhnya tak bisa bergerak untuk melarikan diri. Ketika dia terbangun, tubuhnya berkeringat banyak hingga membasahi baju. Ditangannya masih menempel handphone dengan layar yang masih menyala, menampakkan lukisan Imbalance itu sebagai wallpaper. Sangking terpesonanya ia, sebelum tidur, setelah melihat berkali-kali ratusan foto lukisan Imbalance yang dia ambil, salah satu foto yang sangat menarik hati dia jadikan wallpaper handphonenya. Begitulah ia tertidur kemudian dan bermimpi.
Namun, lukisan Imbalance yang ada di hadapannya kali ini berbeda, dengan warna hitam putih monochromenya. Lukisan itu mengucapkan sesuatu dengan suara yang terdengar jelas.
“Udah, ya. Celanamu pakai lagi, nanti mamakmu marah hehe…” ucap lukisan itu sambil tertawa lucu, sebagaimana anak kecil tertawa.
Dada Saloma kembang kempis sesak, seluruh tubuhnya berkeringat dingin sampai menetes ke lantai. Ucapan itu memancing amarah bangkit dari hatinya yang paling dalam, naik seketika lalu meledak. Sekuat tenaga ia berteriak namun tak ada suara. Hanya mulutnya yang menganga lebar, urat lehernya mengeras.
“Are you ready? Let’s go!” ucap lukisan itu lagi.
Seketika lukisan terpecah menjadi empat bagian. Satu kotak bagian kanan atas turun dan berhenti di tengah, lalu melebar menutupi seluruh kanvas. Pasir-pasir layar TV rusak muncul kemudian lalu dalam sekejap, Blitz!!! Layar jadi hitam.
Suara nafas berat sayup-sayup terdengar, langit-langit kamar di remang-remangnya cahaya muncul di layar. Berapa kali layar berkedip layaknya mata.
“Merkade ngo ko isi, Fellip?” sambar seorang wanita dari luar, menghardik gorden pintu kamar. Wanita itu adalah Monster, namun terlihat lebih muda dan lembut.
Pria yang bernafas berat itu terkejut dan gelagapan memegang kepunyaannya dan buru-buru menaikkan celana, sementara Saloma yang masih sangat kecil, belum sekolah, terlentang di depan Fellip, menatap tidak mengerti.
“Mamae hehe…” panggil Saloma ceria kemudian, tak pernah ia melihat Mamaenya itu berteriak kencang seperti itu.
“Ikut aku ke belakang, Fellip. Ada mau kubilang,” suara monster tertahan penuh emosi dan matanya melebar marah. Dihardiknya lagi gorden dan membalikkan badan keluar kamar.
Monster berteriak kesetanan lagi dari luar. “Sini cepat Fellip!!!”
“Merkade,” bergetar suara Fellip menjawab dan pergi keluar mengikuti Monster.
Saloma kecil yang ketakutan menunggu saja sambil menatap langit-langit kamar. Sedangkan Saloma dalam lubang gelap telah habis energi dan air matanya sedari tadi menangis berteriak-teriak.
Terlalu lama menunggu, akhirnya Saloma kecil menarik celananya ke atas, memakaikan seperti seharusnya celana dipakai. Dia menggigit-gigit kuku jari telunjuk dan bangkit dari tempat tidur. Tak berapa lama kemudian gorden tersibak lagi, Fellip muncul dengan muka marah dan mengambil tasnya dari meja belajar.
“Mau ke mana, bang?”
“Udah, ya. Celanamu pakai lagi, nanti mamakmu marah,” jawab Fellip tanpa menatap Saloma, buru-buru mengambil semua baju-bajunya dari lemari. Begitu tasnya penuh mengembang, Fellip pergi keluar kamar dan Saloma menatap tak mengerti gorden yang tertutup kembali. Layar pun berganti menjadi pasir abu-abu seperti semula.
“Apakah kau masih kuat?” tanya suara anak kecil tadi entah dari mana.
Saloma tak menjawab, ia sangat ingat sekali dengan tayangan itu. Setelah peristiwa itu, Saloma kecil hingga remaja ingat apa yang terjadi. Namun, saat kuliahlah ia menyadari bahwa itu adalah pelecehan seksual. Baru di usia 19 tahunlah, ia sadar pernah dilecehkan oleh anak dari kakak laki-laki Monster. Pemantiknya saat ia tengah membaca berita pemerkosaan di feed Instagram, di kamar kosan, seketika ia membeku oleh satu sengatan di dalam kepalanya. Ingatan itu tidak pernah hilang, hanya terpendam saja menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Saloma remaja pun menangis kencang tanpa suara mengasihani Saloma kecil yang harus mengalami luka itu.